REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR, Bambang Soesatyo, menilai tudingan bahwa amandemen UUD NRI 1945 untuk perpanjangan periodisasi jabatan presiden menjadi tiga periode, merupakan wacana yang prematur. Menurutnya, dari segi politik, hal tersebut sulit terjadi karena partai politik sudah bersiap menghadapi Pemilu 2024 dengan mengusung calon presidennya masing-masing.
"Di internal MPR RI sendiri, dari mulai Komisi Kajian Ketatanegaraan, Badan Pengkajian MPR, hingga tingkat pimpinan MPR, tidak pernah sekalipun membahas wacana perpanjangan periodisasi presiden menjadi tiga periode," kata Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam keterangannya di Jakarta, Senin (13/9).
Bamsoet menegaskan, bahwa rencana MPR RI melakukan amendemen terbatas UUD NRI 1945 hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), bukan yang lain. Bamsoet menjelaskan, di Indonesia, aturan mengenai pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden diatur secara tegas pada Pasal 7 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
"Artinya, presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat dua kali pada jabatan yang sama, baik berturut turut maupun tidak berturut-turut. Baik masa jabatan tersebut dipegang secara penuh dalam periode 5 tahun maupun kurang dari 5 tahun," ujarnya.
Bamsoet menjelaskan, untuk mengubah konstitusi dibutuhkan konsolidasi politik yang besar karena persyaratannya sangat berat, seperti tertuang dalam Pasal 37 ayat 1-3 UUD NRI 1945. Menurutnya, Pasal 37 ayat 1 menjelaskan, usul perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR (237 dari 711 jumlah anggota MPR).Pada ayat 3, dijelaskan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (474 dari 711 anggota MPR).
"Sementara di ayat 4 dijelaskan, putusan mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR, sekitar 357 dari 711 anggota MPR. Artinya, satu partai saja tidak setuju dengan rencana amandemen, maka amandemen tidak bisa dilakukan," katanya.
Bamsoet menjelaskan, jika merujuk referensi global, memang ada beberapa negara yang membolehkan masa jabatan Presiden lebih dari dua kali. Bamsoet mencontohkan sejarah Amerika Serikat mencatat, Presiden Franklin Roosevelt menjabat sebagai Presiden AS selama 4 kali dalam periode kepresidenan 1933-1945 ketika krisis akibat Perang Dunia II. Namun pasca amandemen Konstitusi tahun 1951, Presiden AS kemudian dibatasi masa jabatannya selama 2 periode.
"Hingga saat ini, masih ada beberapa negara yang mengadopsi pemberlakuan masa jabatan presiden lebih dari 2 periode, antara lain Brasil, Argentina, Iran, Kongo, Kiribati, Tanjung Verde, dan Tiongkok," ujarnya.Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menjelaskan, dalam catatan sejarah, Indonesia pernah melakukan penundaan pemilu dan juga pernah melakukan percepatan pemilu.
Dia mengatakan, Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 3 November 1945 membuat pemilu yang seharusnya dilakukan pada Januari 1946 ditunda ke tahun 1955, karena ketidaksiapan dan masih adanya ancaman dalam mempertahankan kemerdekaan. "Sedangkan percepatan pemilu pernah dilakukan melalui Sidang Istimewa MPR RI pada 10-13 November 1998 yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie, mengharuskan pemilu dipercepat dari jadwal sebelumnya pada tahun 2002 menjadi diselenggarakan pada tahun 1999," katanya.
Menurutnya, pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden di Indonesia adalah hasil dari reformasi agar selalu ada penyegaran dalam setiap periodisasi pemerintahan. Selain itu dia menilai untuk menjamin adanya kesinambungan, agar tidak setiap berganti pemerintahan berganti pula haluannya, maka kehadiran PPHN merupakan keniscayaan.