REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Christopher Nolan sering dikreditkan dengan pencapaian luar biasa dalam merevitalisasi genre superhero dengan trilogi Dark Knight yang diakui secara kritis. Nolan berhasil menangkap konflik psikologis dan filosofis dari ikon tituler, dan memilih mendalami jiwa anti-pahlawan paling terkenal di dunia Batman.
Sutradara kelahiran London itu sepertinya ingin menyajikan sesuatu yang lebih riil: bagaimanapun mereka yang dianggap pahlawan di bumi adalah manusia biasa. “Batman dibatasi dengan menjadi manusia biasa, selalu ada ketegangan antara pragmatisme dan idealisme,” kata Nolan dalam sebuah wawancara seperti dilansir dari Far Out Magazine, Selasa (14/9).
Tidak seperti film superhero modern lainnya di mana penggunaan CGI dan green screen diprioritaskan, Nolan bersikeras bahwa metode itu tidak mampu menangkap keajaiban sinema yang sesungguhnya. Ini adalah kritik keras terhadap banyak film fiksi ilmiah serta proyek Marvel yang umum memakai CGI dan green screen.
Nolan memperkuat keyakinannya dengan menunjukkan keberhasilan karyanya sendiri. Dia mengutip efek spektakuler dari epik sci-fi “Interstellar” (2014), mengklaim bahwa dia tidak pernah menggunakan green screen.
“Pada film saya, saya selalu mencoba mengambil sebanyak mungkin adegan. Di Interstellar, misalnya, kami tidak menggunakan green screen sama sekali. Jadi ketika kami mengambil adegan di dalam pesawat luar angkasa, kami memiliki pemandangan di luar jendela. Kami memproduksi semua materi itu, kami mengambil gambar, dan ditambahkan efek di kamera,” kata Nolan.
Bagi Nolan, pembuatan film masih merupakan proses yang sangat fisik yang membutuhkan komposisi ahli mise-en-scène eksternal daripada koreografi digital. Dia tetap bersikeras dalam preferensinya, dengan menyatakan bahwa syuting tanpa green screen adalah hal yang menyenangkan.
“Tidak ada yang lebih mengecewakan daripada ketika bekerja dan hanya ada green screen dengan beberapa aktor di depannya. Keajaiban itu tidak hadir di sana,” jelas Nolan.