REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri kreatif Korea Selatan (Korsel) tampaknya kini telah merajai dunia. K-pop, K-drama, K-film, K-fashion, hingga K-food mulai jadi kegemaran orang di banyak negara termasuk Indonesia.
Korean wave atau kerap disebut Hallyu merupakan kesuksesan Korsel membawa dan mengenalkan budaya-budayanya ke dunia internasional. Sesungguhnya Korean Wave ini mulai dibawa oleh media China pada 2000-an, dan mulai menyebar ke Asia Tenggara, kemudian Amerika Serikat (AS) hingga ke Eropa.
Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Korsel Umar Hadi mengatakan, ada tiga faktor penting yang menjadi fondasi bangkitnya industri kreatif Korsel. Faktor-faktor tersebut ia rangkum dari hasil risetnya membaca, bertemu tokoh seni langsung di Korsel, hingga bertemu perusahaan yang menaungi para seniman kreatif.
Faktor pertama adalah reformasi politik Korsel sekitar tahun 1987-1988. "Demokratisasi membuat konstitusi baru Korsel tentang menjamin kebebasan berekspresi," ujar Hadi kepada Republika belum lama ini.
Sebelumnya, Korsel terkungkung oleh otorisasi. Namun setelah adanya konstitusi baru tersebut, para seniman dan kreator dapat dengan bebas mengembangkan ide-ide mereka.
"Sebelum demokrasi semuanya serba disensor, harus mengikuti kebijakan pemerintah. Namun setelah reformasi, kebebasan berkarya dijamin konstitusi sehingga para seniman, pembuat film, pencipta lagu, pujangga, novelis memiliki energi baru yang terbuka," ujar dia.
Faktor kedua, reformasi ekonomi yang beberapa tahun lebih awal daripada reformasi politiknya. Ini ditandakan dari proses keterbukaan ekonomi Korsel dari sistem kapitalisme yang dipimpin perusahaan menjadi kapitalisme berbasis pasar.
Seperti disaksikan dunia, pada 1980-an Korsel mengalami lompatan tertinggi dalam ekonomi. Tidak heran bahwa Korsel merupakan penghasil semikonduktor di dunia, penghasil baterai lithium terbesar di dunia, memiliki kilang minyak terbesar di dunia padahal tidak memiliki sumber minyak, hingga memiliki kapal tanker terbesar di dunia.
"Faktor ketiga yakni reformasi sosial budaya terhadap pengaruh asing. Rakyat Korsel mengalami perubahan sikap setelah 1980an," ujar Hadi.
Hadi mencontohkan perubahan sikap rakyat Korsel bermula dari visi para penggagas industri kreatifnya, seperti saat ia bertemu dengan salah satu pendiri Seoul Institute of The Art. Tujuan dia mendirikan sekolah seni itu justru agar budaya Korea bisa menguasai budaya dunia.
"Jadi visi sekolah itu adalah menjadikan budaya Korea unggul dan menguasai budaya dunia," katanya.
Dari tiga faktor itu kini Korsel menjadi kiblat para industri kreatif di negara lain seperti di Asia Tenggara. Perekonomian Korsel pun kini sudah mengandalkan pada industri kreatifnya. Produk dari persebaran budaya pop Korsel yang semakin populer maupun drama Korsel yang juga digemari menjadi produk untuk meningkatkan ekspor Korsel.