REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perwakilan nuklir Jepang, Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan (Korsel) gelar pertemuan di Tokyo membahas bagaimana mengendalikan program nuklir dan rudal Korea Utara (Korut). Pertemuan ini digelar satu hari setelah Pyongyang mengatakan melakukan uji coba rudal jarak jauh.
Pada Senin (13/9) kemarin media pemerintah Korut mengumumkan negara itu berhasil menggelar uji coba rudal jarak jauh. Para pengamat mengatakan rudal tersebut dapat menjadi senjata pertama Pyongyang yang memiliki kapabilitas nuklir.
"Perkembangan terbaru di DPRK (Republik Demokratik Rakyat Korea) mengingatkan pentingnya komunikasi dan kerja sama tiga negara," kata perwakilan khusus AS untuk Korut, Sung Kim dalam pidato pembukaannya, Selasa (14/9).
Ia menyebut Korut dengan nama resminya Republik Demokratik Rakyat Korea atau DPRK. Tiga negara telah membahas cara untuk mengakhiri kebuntuan untuk mengakhiri program rudal balistik dan senjata nuklir Korut yang memicu sanksi internasional.
Dalam pertemuannya dengan perwakilan khusus Jepang Takehiro Funakoshi dan perwakilan khusus Korsel Noh Kyu-duk itu Kim mengatakan Washington masih terbuka untuk membuat kesepakatan diplomasi dengan Korut. Gedung Putih mengatakan siap terlibat dengan Pyongyang meski uji coba rudal baru-baru ini.
Namun pemerintah Presiden AS Joe Biden tidak menunjukkan tanda-tanda bersedia melonggarkan sanksi-sanksi yang dijatuhkan ke Pyongyang. Korut mengatakan, tidak ada tanda-tanda AS akan mengubah arah kebijakannya.
Menurut Korut, hal itu terlihat saat AS masih menggelar latihan militer gabungan dengan Korsel. Pyongyang menilai latihan tersebut sebagai persiapan untuk menyerang mereka.
Sementara hubungan dua sekutu ekonomi dan militer terbesar AS di Asia yakni Jepang dan Korsel kerap renggang. Tokyo dan Seoul kerap berselisih mengenai kedaulatan, masa penjajahan Jepang di Semananjung Korea tahun 1910-1945 dan masa perang mereka.