Selasa 14 Sep 2021 15:54 WIB

Juru Bicara Bantah Taliban Tampung Pemimpin Alqaidah

Pengamat intelijen Michael Morell yakin Zawahiri berada di Afghanistan.

Taliban mengawal wanita berbaris mendukung pemerintah Taliban di luar Universitas Kabul, Afghanistan, pada Sabtu, 11 September 2021.
Foto: AP Photo/Bernat Armangue
Taliban mengawal wanita berbaris mendukung pemerintah Taliban di luar Universitas Kabul, Afghanistan, pada Sabtu, 11 September 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Setelah Pemerintah Afghanistan yang didukung negara-negara Barat ambruk bulan lalu, Taliban menguasai hampir seluruh wilayah di negara itu. Kepada Rusia, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara lain, Taliban berjanji tidak akan membiarkan Alqaidah dan kelompok teroris lainnya beroperasi di wilayah yang mereka kuasai.

Juru bicara Taliban Mohammad Naim membantah kelompoknya menampung pemimpin Alqaidah, Ayman al-Zawahiri. "Itu kebohongan, sama sekali tidak benar," kata Naim pada situs berita Rusia, Sputnik News, Selasa (14/9).

Baca Juga

Sebelumnya, di program Face the Nation stasiun televisi CBS, pengamat intelijen Michael Morell mengatakan, ia yakin Zawahiri kini tinggal di Afghanistan. Morell menjabat direktur CIA pada masa pemerintahan Barack Obama dari 2011 hingga 2013. "Kami pikir begitu yang artinya saat ini Taliban menampung Zawahiri, saat ini Taliban menampung Alqaidah dan saya pikir itu poin yang sangat penting kata Morell.

Mantan kepala CIA itu tidak menjelaskan lebih lanjut tuduhan tersebut. Pada akhir pekan Zawahiri dilaporkan terlihat dalam sebuah video yang memperingati 20 tahun serangan teror 9/11.

Pengamat intelijen berspekulasi, rekaman tersebut tidak berarti direkam baru-baru ini. Kemungkinan sudah direkam sejak Februari 2020 dan di saat AS-Taliban menandatangani kesepakatan di Doha mengenai penarikan pasukan AS dari Afghanistan.

Sejak November lalu muncul rumor yang mengatakan pemimpin Alqaidah berusia 70 tahunan itu sudah meninggal. Tapi badan intelijen AS dan negara-negara lain tidak memberikan bukti kuat mengenai hal tersebut.

Selama puluhan tahun Zawahiri menjabat sebagai orang dua di Alqaidah di bawah kepemimpinan Usamah bin Laden. Setelah Osama dinyatakan tewas dibunuh Angkatan Laut AS di Pakistan, Zawahiri memimpin kelompok teroris tersebut.

Pada pertengahan 2010-an aktivitas Alqaidah dan kelompok teroris lainnya di bayangi ISIS yang sempat menguasai sebagian Suriah dan Irak. Dari tahun 2014 hingga 2017 terbentuk koalisi yang tidak biasanya terdiri dari Suriah, Hizbullah di Lebanon, Rusia, Iran, AS, Irak dan milisi syiah di Baghdad untuk menumpas ISIS.

Suriah, Iran, Hizbullah, militer Rusia dan negara-negara dan aktor-aktor lain yang memeringi ekstremis berulang kali menuduh AS dan sekutu-sekutunya di Arab Teluk bekerja sama untuk mendukung teroris, termasuk Alqaidah dan cabangnya yang berganti nama menjadi Tahrir al-Sham.

Pada awal tahun ini mantan diplomat AS  Jim Jeffrey mengakui dengan terbuka AS mempertimbangkan Tahrir al-Sham sebagai 'aset' strategis Washington di Suriah. Jeffrey pernah menjabat sebagai Perwakilan Khusus AS dalam Kerjasama dengan Suriah dan Perwakilan Khusus AS untuk Kerjasama Militer Pada Intervensi ISIS di masa pemerintahan Donald Trump.

Taliban berulang kali menegaskan, tidak akan membiarkan pejuang Alqaidah dan teroris asing lainnya mengungsi ke wilayah mereka. Komitmen untuk tidak menampung Alqaidah bagian dari perjanjian dengan AS yang ditanda tangani di Doha.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement