REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Yayasan Wahana Visi Indonesia Agustinus Agung Wijaya mengatakan anak-anak di Provinsi Papua kerap mendapatkan kekerasan fisik dan verbal. Hal itu terungkap dalam riset dengan tema Kajian Kebijakan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak di Papua.
Dari riset tersebut diketahui bahwa pelaku kekerasan fisik dan verbal justru merupakan orang-orang terdekat si anak yang seharusnya melindungi mereka. "Ada enam permasalahan mengenai anak di Papua. Pertama, kekerasan fisik dan verbal," kata Agung Wijaya dalam webinar bertajuk "Mengurai Kerumitan Perlindungan Anak di Papua. Harus Mulai Dari Mana?" yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa (14/9).
Kemudian, masalah perundungan, pergaulan bebas, dan perkawinan anak. "Ada yang memang pergaulan bebas berujung perkawinan anak. Ada juga yang terkait faktor ekonomi dan utang piutang. Jika orang tuanya punya utang, sering kali anaknya yang diberikan untuk pelunasan utang," kata Agung.
Permasalahan berikutnya adalah masih rendahnya kepemilikan akta kelahiran, akses pendidikan rendah serta penggunaan lem aibon. "Penggunaan lem aibon merata hampir di semua kabupaten yang kami teliti. Ini marak di sana," ujarnya.
Penelitian Wahana Visi Indonesia dilakukan di empat kabupaten di Provinsi Papua yakni Kabupaten Jayapura, Kab. Jayawijaya, Kab. Biak Numfor dan Kab. Asmat. Dari penelitian ini diketahui bahwa anak-anak adalah populasi terbesar kedua di Papua.
"Jika perlindungan dan pemenuhan hak anak di Papua tidak cukup diberikan, kita akan bisa tahu masa depan Papua akan seperti apa karena anak-anak tersebut merupakan generasi yang akan memimpin Papua di masa depan," katanya.