REPUBLIKA.CO.ID,ANKARA -- Zeynep Doğusan menceritakan bagaimana seorang teman bersandar di sebuah pilar masjid di belakang bagian pria sembari mengagumi pemandangan bangunan itu pada suatu waktu. Tak lama, seorang pegawai masjid mendatanginya dan mengatakan dia tidak diizinkan berada di sana.
"Teman kami benar-benar merasa seperti diusir dari masjid. Kami tidak bisa tinggal diam, jadi kami melakukan sholat berjamaah dengan dukungan seorang imam, di masjid tempat kejadian itu terjadi," kata dia dikutip di Inside Turkey, Rabu (15/9).
Doğusan merupakan salah satu pendiri Women in Mosques Platform, sebuah kelompok kampanye yang dibentuk pada Oktober 2017 di Istanbul, untuk memerangi diskriminasi serupa di tempat-tempat ibadah.
Sejak saat itu, organisasi tersebut telah berkembang menangani beragam masalah, mulai dari akses untuk orang tua di masjid hingga kondisi kamar kecil yang buruk bahkan tidak ada. Sebagian besar energi mereka dihabiskan untuk menantang kebiasaan yang membuat wanita merasa kurang memiliki hak untuk berada di masjid, seperti menyembunyikan jamaah wanita di balik layar atau di kamar samping.
"Sebagai platform, tujuan kami adalah membuat masalah ini terlihat. Kami memiliki tujuan meningkatkan kesadaran, dengan harapan dapat menjangkau administrator masjid dan mungkin mendorong perubahan," lanjutnya. Media sosial disebut telah membantu meningkatkan visibilitas grup dan menyebarkan pesan tersebut.
Di Turki, secara historis, tradisi Islam cenderung mendorong perempuan untuk beribadah di rumah. Namun, mereka yang bekerja atau belajar dan menghabiskan hari di luar rumah perlu menggunakan masjid untuk memenuhi kebutuhan shalat lima waktu. Ketika mereka melakukannya, sering kali mereka menemukan akses ini dibatasi, dimana ruang perempuan biasanya terpisah dari kubah utama masjid, berbentuk area kecil tertutup di dekat pintu masuk.
"Siapa sebenarnya yang memutuskan bagian mana dari masjid yang boleh dan tidak boleh dihadiri? Bukankah perempuan memiliki hak untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya estetika dan spiritual masjid, serta menjadi bagian darinya?" kata Dousan.
Juru kampanye hak asasi manusia di Zero Discrimination Association, Kezban Karagöz, mengatakan partisipasi perempuan di masjid meningkat. Tetapi, ia sendiri menghindari menghadiri tempat ibadah karena pengalaman negatif yang dia alami di masa lalu.
Ia merasakan tatapan laki-laki yang diarahkan kepadanya, seolah-olah mempertanyakan kehadirannya ketika ia pergi ke masjid. Ia merasa harus cepat-cepat menyelesaikan urusannya dan bergegas pergi meninggalkan masjid.
"Saya pergi ke masjid untuk menemukan kedamaian, tetapi saya terus-menerus takut akan pertengkaran, jadi saya mulai memilih mescits [ruang sholat kecil yang biasa ditemukan di gedung-gedung publik di Turki] di mal dan sebagainya," kata Karagöz.
Karagöz juga terhambat dalam mengakses kamar kecil untuk wanita di banyak masjid. Jika pria dapat menggunakan air mancur umum, yang dikenal sebagai shadirvan secara gratis, maka jamaah wanita harus membayar untuk penggunaan kamar mandi, sehingga mereka dapat melepas jilbabnya. Sebaliknya, pusat perbelanjaan dan stasiun kereta api di mana banyak musala berada, memiliki fasilitas sendiri yang bersih dan gratis.
Karagöz lantas menyarankan agar Direktorat Urusan Agama, selaku badan negara yang mengawasi masjid-masjid Turki, harus menggunakan anggarannya untuk menyediakan fasilitas bagi perempuan. Di bawah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), anggaran Direktorat telah dinaikkan secara konsisten sejak 2006 dan mencapai 12,9 miliar Lira.
Platform 'Women in Mosques' bukan satu-satunya kelompok yang berkampanye di wilayah ini. Asosiasi Wanita Havle, yang menangani berbagai masalah, juga melakukan advokasi atas nama jamaah wanita.
“Kami ingin menjadi bagian dari gerakan feminis arus utama sebagai perempuan Muslim. Ada kebutuhan untuk menyuarakan penindasan yang dihadapi perempuan Muslim dalam kehidupan sehari-hari,” kata salah satu pendiri, Rümeysa amdereli.
Amdereli menyebut administrasi masjid yang didominasi laki-laki adalah salah satu alasan mengapa kebutuhan perempuan tidak terpenuhi. Ia juga menambahkan, banyak masjid yang tidak memberikan audiensi kepada perempuan, bahkan jika mereka adalah bagian dari jamaah.
Seorang mahasiswa kimia berusia 21 tahun di Universitas Necmettin Erbakan di Konya, Begüm Yarar, mengatakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi wanita di masjid adalah isolasi bagian mereka dari tempat ibadah lainnya.
Ruangan untuk perempuan sering kali terletak jauh di belakang struktur masjid utama dan kubah. “Saya seorang fanatik seni, saya ingin berdoa di bawah arsitektur indah yang dihiasi dengan kaligrafi dan ornamen, untuk melihat dan merasa bersyukur. Saya sedih karena hak istimewa ini hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Wanita juga manusia. Saya pikir perempuan harus diberi hak yang sama dengan laki-laki,” ujarnya.
Yarar juga mengeluh bagian wanita sering terletak di sebelah tempat jamaah melepas sepatu mereka, sebelum memasuki masjid. Hal ini berarti wanita harus melaksanakan shalat dengan bau kaki yang tertinggal di udara.
Selanjutnya, ia menyebut ruangan untuk wanita sering dipisahkan dari area pria dengan tirai lipat berlapis kain. Masalahnya, hal ini menciptakan isolasi total bagi jamaah perempuan.
“Islam sebenarnya mendikte wanita berdiri satu langkah di belakang pria saat sholat. Tetapi wanita benar-benar dipisahkan dari jamaah di masjid, seolah-olah itu dosa bagi dua jenis kelamin untuk bertemu satu sama lain," kata dia.
Seorang imam berusia 30 tahun yang berbasis di Antalya, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, tidak setuju dengan Yarar. Ia menyebut penting untuk mengakomodasi kepekaan keagamaan orang-orang di masjid.
"Penting untuk menjaga pemisahan tempat pria dan wanita di lingkungan masjid karena mencegah gosip. Jika ruangan perempuan terlihat, hal terkecil seperti seseorang yang sedang merapikan kerudungnya bisa menimbulkan rumor, hal ini terjadi di pemukiman kecil. Kita harus memikirkan hal-hal ini, kita tidak bisa membiarkan rumor mengecilkan hati jamaah,” ujarnya.
Sumber:
https://insideturkey.news/2021/09/14/women-demand-equal-treatement-in-mosques/