REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA – Direktur Africa’s Centers for Disease Control, John Nkengasong, mengungkapkan, sejauh ini jumlah warga Afrika yang telah divaksinasi kurang dari 3,5 persen. Afrika jadi benua yang paling tertinggal dalam vaksinasi.
Uni Afrika, pada Selasa (14/9), menuding produsen vaksin Covid-19 tak memberi kesempatan adil bagi negara-negara Afrika untuk membeli produk mereka. Uni Afrika mendesak negara-negara produsen, khususnya India, mencabut pembatasan ekspor vaksin dan komponennya.
“Produsen itu tahu betul bahwa mereka tidak pernah memberi kami akses yang layak. Kami bisa menangani ini dengan sangat berbeda,” kata Utusan Khusus Uni Afrika untuk Covid-19, Strive Masiyiwa, dalam pengarahan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss, Selasa (14/9).
Dari 5,7 miliar dosis vaksin Covid-19 yang diberikan di seluruh dunia sejauh ini, hanya dua persen disalurkan ke Afrika. Masiyiwa menekankan, Uni Afrika memiliki target untuk memvaksinasi 60 persen populasinya. Mereka dan para mitranya berharap membeli separuh dari jumlah dosis yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Sementara sisanya diharapkan dapat diperoleh dari sumbangan Covax yang didukung WHO dan Gavi.
Masiyiwa mendesak Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional mulai menyiapkan dana siaga pandemi untuk membantu negara-negara miskin membeli vaksin di masa mendatang. Hal itu perlu daripada mereka harus bergantung pada fasilitas berbagi vaksin seperti Covax. Sejauh ini, Covax pun hanya berhasil menyediakan 260 juta dosis.
“Berbagi vaksin itu baik, tapi kita tidak harus bergantung pada berbagi vaksin, terutama ketika kita dapat datang ke meja dengan struktur yang ada dan mengatakan bahwa kita juga ingin membeli,” ujar Masiyiwa.
CEO Gavi Seth Berkley mengatakan, organisasinya telah mengandalkan pasokan dari India, pusat pembuatan vaksin terbesar di dunia, pada awal pandemi. Namun mereka tidak lagi menerima suplai sejak Maret. Hal itu karena India memberlakukan pembatasan ekspor.