REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Savitri Icha Khairunnisa, Penulis dan Warga Indonesia Tinggal di Norwegia.
Senin (13/09) yang lalu rakyat Norwegia mengadakan pesta demokrasi, yaitu Stortingsvalget (Pemilihan Umum Parlemen).
Gaung kampanye memang cukup terasa sejak beberapa bulan belakangan. Meski kalau dibandingkan dengan pemilu di negara-negara lain, kampanye di Norwegia sangat jauh dari ingar-bingar yang heboh atau dramatis.
Nggak ada bagi-bagi sembako, nggak ada baliho kepagian, nirpencitraan semacam masuk gorong-gorong, nggak ada jualan slogan kosong "Kerja kerja kerja", nggak ada janji kampanye berlebihan.
Cerita suasana kampanye dan pertemuan saya dengan ibu perdana menteri Norwegia pernah saya tulis dan dimuat di Republika.
Pemilu kali ini diikuti oleh 77% warga negara Norwegia di seluruh dunia. Partisipasi yang menurut catatan termasuk rendah dan menjadi pertanyaan para pengamat politik. Bagaimanapun, pemilu berjalan dengan tertib dan aman. Tidak ada politik uang, tidak ada "serangan fajar", tidak ada kecurangan. Semua didukung sistem yang jujur dan adil. Dalam sehari semua suara selesai dihitung. Meski belum ada pengumuman resmi, pemenangnya sudah terlihat dengan jelas.
Arbeiderpartiet/Ap (Partai Buruh) kali ini menang dengan raihan 48 (dari total 169) kursi di parlemen. Meski bukan landslide win, tapi sudah mencukupi sebagai partai pemenang pemilu.
Dalam waktu tak lama lagi Norwegia akan punya perdana menteri baru, yaitu pemimpin Ap: Jonas Gahr Støre. Pria 60 tahun ini adalah miliuner, berasal dari keluarga kaya. Berlatar belakang ilmu politik, karier politiknya cemerlang sejak tahun 2005. Ia pernah jadi menteri di era PM Jens Stoltenberg (sekarang Sekjen NATO) dan memimpin Ap sejak 2014.
Erna Solberg, PM Norwegia yang menjabat sejak 2013, mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat kepada calon penggantinya itu.
Begitu saja. Tanpa ada drama apa pun. Pemilu memang idealnya begitu, kan, ya? Yang menang merayakan dengan elegan, yang kalah mengakui dengan besar hati. Saking aman dan damainya pemilu di sini, rasanya kok kurang gereget begitu. Tidak ada pawai kemenangan, apalagi kerumunan yang merupakan pemandangan horor di masa pandemi seperti sekarang.
Selanjutnya partai pemenang akan melakukan lobi koalisi dengan partai-partai lain.
******
Bicara soal partai, untuk negara sekecil Norwegia yang penduduknya hanya 5,4 juta jiwa dan luasnya hanya 1/6 wilayah Indonesia, jumlah partainya lumayan banyak dan beragam.
Selain Ap, ada Høyre (Partai Kanan / Konservatif) pimpinan Erna Solberg. Selain itu partai-partai besar lainnya adalah FrP (Partai Progres), Sp (Centre), SV (Socialist Left), V (Venstre / Liberal), KrF (Partai Rakyat Kristen), MDG (Partai Hijau), dan Rødt (Merah / beraliran komunis).
Sementara masih banyak partai kecil yang resmi terdaftar tetapi tidak lolos ke parlemen. Di antaranya Demokratene, Alliansen, Helsepartiet (kesehatan), Industri -og Næringspartiet, Liberalistene, Feminist Initiative, Folkeaksjonen nei til mer bompenger (Aksi Masyarakat Menolak Kenaikan Uang Tol), Kystpartiet (mengurusi soal pantai), NKP (komunis), Pasientfokus (fokus pada masalah pasien), Pensjonistparti (fokus masalah para pensiunan), Pirate Party (menolak kerahasiaan data di internet), dan Redd Naturen (fokus pada penyelamatan lingkungan).
Baca juga : Anadolu Agency: Intelijen Prancis Tahu Lafarge Mendanai ISI
Partai-partai kecil itu tidak semua punya kantor di tiap daerah. Ada yang hanya mewakili aspirasi masyarakat di kota tertentu. Entah bagaimana mereka mendanai kelangsungan hidup partai-partai tersebut. Yang jelas, mayoritas partai kecil itu sudah ada sejak lama dan hampir di tiap pemilu ada partai baru yang muncul.
Meski memegang prinsip welfare state yang sosialis, Norwegia menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Siapa pun boleh menyampaikan aspirasi tentang apa pun tanpa khawatir tindakan represif aparat.