REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Utara dan Korea Selatan melakukan uji coba peluncuran rudal pada hari yang sama. Peluncuran itu menjadi babak teranyar perlombaan dalam mengembangkan senjata yang semakin canggih. Di sisi lain, upaya untuk melakukan pembicaraan guna meredakan ketegangan terbukti tidak membuahkan hasil.
Korea Selatan menguji rudal balistik mereka yang diluncurkan dari kapal selam atau SLBM. Korea Selatan menjadi negara pertama tanpa senjata nuklir yang mengembangkan sistem semacam itu.
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-In, menghadiri uji tembak itu. Moon sendiri telah mendengar kabar Korea Utara sudah menguji coba rudal balistiknya sejak Maret 2021 lalu.
Sementara itu, Korea Utara menembakkan sepasang rudal balistik yang mendarat di laut lepas pantai timurnya. Menurut pejabat di Korea Selatan dan Jepang, itu dilakukan hanya beberapa hari setelah negara tersebut menguji rudal jelajah mereka yang diyakini memiliki kemampuan nuklir.
Korea Utara terus mengembangkan sistem senjatanya di tengah kebuntuan pembicaraan yang bertujuan untuk membongkar persenjataan nuklir dan rudal balistiknya dengan imbalan keringanan sanksi AS. Negosiasi, yang dimulai antara mantan Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada 2018, telah terhenti sejak 2019.
"Korea Utara menembakkan dua rudal balistik tak dikenal dari wilayah pedalaman tengah menuju pantai timur, dan otoritas intelijen Korea Selatan dan Amerika Serikat sedang melakukan analisis terperinci untuk informasi lebih lanjut," kata Kepala Staf Gabungan Korea Selatan (JCS) dikutip dari Reuters, Rabu (15/9).
JCS melaporkan, rudal ditembakkan tepat setelah pukul 12:30 malam (0330 GMT), terbang 800 km ke ketinggian maksimum 60 km. Komando Indo-Pasifik militer AS mengatakan, peluncuran rudal Korea Utara tidak menimbulkan ancaman langsung bagi personel, wilayah, atau sekutu AS. Akan tetapi, mereka menyoroti dampak destabilisasi dari program senjata terlarang itu.
Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, menyebut peluncuran rudal itu sebagai langkah "keterlaluan" dan sangat mengutuknya sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan di kawasan. Sementara juru bicara kementerian luar negeri China, Zhao Lijian, mengatakan, China berharap "pihak terkait" akan "menahan diri".