Kamis 16 Sep 2021 00:08 WIB

Konsekuensi Amendemen, MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara

Jika menghidupkan PPHN jadi pengganti GBHN maka MPR yang menagawasinya.

Anggota DPR RI Tamsil Linrung (foto ilustrasi)
Foto: republika/joko sadewo
Anggota DPR RI Tamsil Linrung (foto ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana amendemen UUD untuk memuat Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) yang bergulir dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dinilai tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan saat ini. Saat ini presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan lagi dipilih oleh MPR.

Pimpinan Badan Pengkajian MPR bidang ekonomi, Tamsil Linrung, mengatakan, pertanggungjawaban Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat menjadi tidak jelas. Menurutnya, janji-janji politik Presiden tidak ada yang mengevaluasi.

“Jika janji politik tidak diakomodir dalam PPHN, bagaimana presiden melaksanakan program dan janjinya? Presiden akan terjebak pada dua situasi yang secara esensi sama-sama melanggar konstitusi,” kata Tamsil, dalam focus group discussion (FGD) yang digelar oleh Badan Pengkajian MPR di Tangerang Selatan, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id.

Bila upaya menghidupkan PPHN, yang dinilai sebagai reinkarnasi GBHN terealisasi, menurutnya, maka konsekuensi logisnya harus ada lembaga yang mengevaluasi implementasi PPHN tersebut. Merujuk pada masa lalu, pertanggungjawaban Presiden adalah kepada MPR. Hal ini tentu merestorasi kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Pengamat Ekonomi Politik dan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan yang hadir sebagai narasumber  menyebut, tugas MPR hanya sebagai ‘tukang'. Yaitu ‘tukang lantik' dan 'tukang memberhentikan' ketika Presiden melanggar konstitusi ,setelah diajukan oleh DPR dan diproses oleh Mahkamah Konstitusi.

Idealnya, menurut Anthony, memang harus ada pengawasan terhadap kinerja pemerintah, yang punya konsekuensi langsung. Tidak seperti saat ini, tidak ada yang mengevaluasi. Sehingga pemerintah bisa seenaknya mengumbar janji. Akibatnya, berbagai aspek kehidupan bangsa dipenuhi jargon. “Seperti UU Tax Amnesty. Janjinya 14% tapi terealisasi cuma 9,8%,” kata Anthony.

Menurut alumnus Erasmus University Rotterdam ini, penyusunan ekonomi konstitusi dalam kerangka PPHN mesti selaras dengan semua aturan yang bersumber dari UUD. Sehingga kebijakan ekonomi pemerintah yang digariskan dalam PPHN tegak lurus dengan konstitusi yang menjadi jelmaan kedaulatan rakyat. “Sekarang, apakah daerah sudah berdaulat terhadap sumber daya yang mereka miliki? Kan tidak,” kritiknya.

Pengamat ekonomi Awalil Rizky menilai karutmarut ekonomi Indonesia menyisakan kompleksitas masalah. Bahkan makin jauh dari spirit ekonomi kekeluargaan yang jadi falsafah ekonomi Pancasila. Ia mencontohkan terjadinya deindustrialisasi prematur yang tidak selaras dengan situasi ekonomi yang mestinya dibangun. Akibatnya, terjadi ketimpangan pendapatan dan pengangguran meluas.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement