Sebelum banjir dahsyat melanda barat Jerman pada pertengahan Juli dan menewaskan 184 orang, Lembah Ahr adalah salah satu tujuan populer bagi pecinta anggur dan penjelajah alam. Tapi sekarang, hanya sedikit yang tersisa untuk dijelajahi wisatawan.
Kebun-kebun anggur hancur, jalan-jalan setapak hanyut terserat arus. Perlu bertahun-tahun bagi pariwisata di kawasan itu untuk bisa pulih. Bagi kawasan wisata yang mengandalkan alam, ini adalah peringatan bahwa perubahan iklim bisa punya dampak besar dan biaya risiko tinggi.
Perubahan iklim memang nyata dan dapat digambarkan dengan fakta dan angka, kata Peter Hoffmann dari Institut Penelitian Dampak Iklim - PIK di Potsdam. "Kekeringan yang berlangsung selama bertahun-tahun, atau banjir yang menghancurkan, sudah terjadi jauh lebih sering daripada yang diperkirakan dua puluh atau tiga puluh tahun lalu," katanya.
Asosiasi Pariwisata Jerman DTV memang sudah lama berkomitmen membantu kawasan tujuan wisata untuk beradaptasi dengan situasi perubahan iklim, jelas direkturnya Dirk Dunkelberg. "DTV telah mempromosikan keberlanjutan selama 30 tahun - saat itu sering disebut "pariwisata lunak."
"Sepuluh tahun yang lalu, kami bekerja dengan Badan Lingkungan Jerman untuk menyelenggarakan acara tentang bagaimana daerah pegunungan dan dataran rendah harus menyesuaikan wisata musim dingin mereka karena akan ada lebih sedikit salju di masa depan akibat perubahan iklim."
Niat baik saja tidak cukup
Sejak itu, daerah pegunungan seperti Schwarzwald dan Harz telah memperluas penawaran wisata mereka dengan menawarkan lebih banyak kegiatan dalam ruangan, spa, bersepeda dan jalur hiking, kata Dirk Dunkelberg.
Mengingat tingginya risiko bencana alam - termasuk kebakaran, kekeringan dan banjir, jelas bahwa industri pariwisata harus mulai beradaptasi dengan kondisi perubahan iklim. Namun beberapa pengamat mengatakan, ini beerlangsung terlalu lambat.
Wolfgang Günther dari Institute for Tourism Research in Northern Europe - NIT di Kiel menyerukan agar adaptasi itu dilakukan lebih cepat lagi. Dia mengatakan penting untuk memiliki "lebih banyak fleksibilitas" agar lebih siap menghadapi perubahan kondisi cuaca. Penawaran wisata harus dimodifikasi dan dikembangkan baru di wilayah-wilayah berisiko.
Di masa depan, situasi akan menjadi menjadi lebih ekstrem, kata Peter Hoffmann. Masa cuaca panas akan bertahan lebih lama, hujan lebat akan menjadi lebih deras, dan badai jadi lebih ganas, jelasnya. Mereka yang bergerak dan bertanggung jawab di sektor wisata perlu memiliki kreativitas untuk sebuah pendekatan baru.
Contoh positif
Terkadang, perlu memandang melampaui karakteristik geografis suatu area untuk menemukan solusi, kata Hans-Joachim Hermann. Dia mengepalai departemen strategi keberlanjutan internasional di Badan Lingkungan Jerman.
Dia menunjuk contoh dari Swiss, di mana pada 2003, Stockhornbahn AG - sebuah perusahaan perjalanan - memutuskan menghentikan pengoperasian lereng ski, dan sebagai gantinya fokus pada jenis wisata musim dingin yang berbeda. Menawarkan wisata ski tidak menguntungkan lagi, "jadi mereka mengembangkan model bisnis baru yang berfokus pada tamasya, menambah keahlian memasak, serta berbagai kegiatan musim panas dan musim dingin yang berorientasi alam, sambil mengurangi operasional wisata musim dingin hanya dari Rabu sampai Minggu."
Badan Lingkungan Jerman, bersama dengan Asosiasi Pariwisata, PIK dan asosiasi-asosiasi lainnya, sudah menyusun panduan "Adapting to Climate Change: Shaping the Future in Tourism." Juga menawarkan lokakarya untuk manajer pariwisata untuk menambah wawasan dan ide-ide tentang bagaimana membuat daerah liburan masing-masing sukses di masa depan dengan mengembangkan strategi pariwisata yang baru.
Namun Wolfgang Günther juga menyadari, masih banyak destinasi wisata yang belum menerima kenyataan ini. "Beberapa akan berhasil, yang lain akan terjebak dalam kegagalan mereka," katanya. "Semakin cepat kita membalikkan tren, makin banyak hal-hal positif yang akan terlihat."
(hp/pkp)