REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah bayangan Myanmar, National Unity Government (NUG), memperingatkan rezim militer bahwa setiap penjualan misi diplomatik negara tersebut dikategorikan melanggar hukum.
Menteri Perencanaan, Keuangan, dan Investasi NUG U Tin Tun Naing menyampaikan peringatan tersebut setelah mereka mendapatkan laporan yang kredibel tentang rencana rezim menjual lahan Kedutaan Besar Myanmar di Tokyo, Jepang. Media lokal The Irrawaddy menghubungi kedutaan di Tokyo untuk meminta komentar, tetapi pejabat kedutaan tidak tersedia.
Meskipun informasi mengenai rencana penjualan belum diketahui, tetapi hal itu menunjukkan rezim semakin membutuhkan mata uang keras (hard currency). Ekonomi Myanmar menurun tajam sejak kudeta militer seiring mengeringnya investasi baru, penarikan investasi yang telah ada, serta penghentian proyek infrastruktur yang didukung pihak internasional.
Hal itu juga dikarenakan sanksi dari negara-negara Barat terhadap rezim militer di tengah pembunuhan brutal pasukan junta terhadap lebih dari 1.000 pengunjuk rasa, aktivis, serta pemuda. Warga Myanmar ikut menolak membayar pajak dan berhenti membeli tiket lotre sebagai bagian dari kampanye pemboikotan untuk mengurangi pendapatan rezim dan menyangkal legitimasinya.
“Karena mereka sangat membutuhkan mata uang asing, kemungkinan mereka berencana untuk menjual tanah kedutaan di negara lain juga,” kata U Tin Tun Naing dikutip dari The Irrawaddy, Kamis (16/9).
Pengumuman NUG menyatakan pemerintahan rezim militer sekaligus lembaga dan organisasi di bawahnya tidak berhak mengontrol, mengelola, atau menjual lahan publik sehingga setiap penjualan misi diplomatik negara tersebut dilarang. NUG menambahkan penjual atau pembeli, atau keduanya dalam transaksi tersebut akan diproses hukum pada waktu dan yurisdiksi yang ditentukan pemerintah bayangan.
NUG akan berkoordinasi dengan otoritas terkait di negara tempat misi diplomatik Myanmar berada untuk mencegah transaksi yang dilarang tersebut. Myanmar diguncang kudeta sejak 1 Februari di mana militer menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Militer berdalih pemilu yang mengantarkan Suu Kyi terpilih dengan suara terbanyak penuh kecurangan. Kelompok pemantau sipil melaporkan sebanyak 1.093 orang tewas sejak militer melakukan kudeta dan 6.533 orang masih ditahan hingga 15 September.