REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Sebulan yang lalu, 15 Agustus 2021, Taliban dengan kilat menguasai Afghanistan dengan merebut hampir seluruh wilayah termasuk ibu kota Kabul. Namun sebulan setelah berkuasa, Taliban kini menghadapi sejumlah tantangan yang menghantui terutama pada krisis ekonominya.
Sebelum Taliban berkuasa, Afghanistan sebetulnya juga sudah terseok-seok ekonominya oleh karena peperangan yang berlangsung selama empat dekade atau sejak Uni Soviet menginvasi Afghanistan. Bahkan, meskipun ratusan miliar dolar AS dikucurkan ke negara itu selama 20 tahun belakangan, perekonomian negara juga tidak kunjung membaik.
Ekonomi Afghanistan hancur ditambah kekeringan dan kelaparan mendorong ribuan orang dari pedesaan bermigrasi ke kota-kota mencari sesuap nasi. Program Pangan Dunia (WFP) khawatir pasokan makanan bisa habis pada akhir bulan sehingga mengancam 14 juta penduduk Afghanistan ke jurang kelaparan.
Perhatian tertuju pada pemerintahan baru Taliban yang katanya akan menepati janji melindungi hak-hak perempuan. Padahal, bagi warga Afghanistan, prioritas utamanya adalah kelangsungan hidup yang sederhana.
"Setiap orang Afghanistan, anak-anak, mereka lapar, mereka tidak punya sekantong tepung atau minyak goreng," kata penduduk Kabul, Abdullah.
Baca juga : Pemimpin Taliban Masuk Orang Paling Berpengaruh Versi Time
Antrean panjang masih terjadi di luar bank di negara itu. Batas penarikan per pekan setiap pemilik akun bank sebesar 200 dolar AS atau 20 ribu Afghani telah diberlakukan untuk melindungi cadangan negara yang semakin menipis.
Pasar dadakan di mana orang menjual barang-barang rumah tangga dengan uang tunai bermunculan di seluruh Kabul, meskipun pembeli kekurangan pasokan. Bahkan dengan miliaran dolar dalam bantuan asing, ekonomi Afghanistan masih berjuang hidup.