REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus melakukan efisiensi dan refocusing anggaran karena pandemi Covid 19 belum berakhir. Menurut Kepala Pelaksana Harian BPBD Jawa Barat Dani Ramdan, refocusing ini berimbas pada anggaran logistik untuk penanganan bencana non-Covid-19.
"Anggaran logistik bencana non-Covid-19 di Jabar pada tahun 2021 alami penurunan hingga 30 persen dibanding tahun 2020. Dari Rp 8 miliar menjadi Rp 6 miliar," ujar Dani kepada wartawan, Kamis (16/9).
Dani mengatakan, sebelum pandemi, anggaran logistik kebencanaan non-Covid 19 mencapai Rp 12 miliar. Anggaran rutin yang ada di instansinya menurun karena pandemi Covid-19 ini membuat semua dinas di-refocusing.
Penyebabnya, kata dia, karena dua hal. Pertama, ia mengatakan, pendapatan provinsi Jabar memang menurun cukup drastis karena belum pulih apalagi ada gelombang kedua.
Kedua, prioritas belanja masih di penanganan Covid 19. "Jadi kalau angka mah kita punya Rp 6 miliar untuk logistik segala macem untuk tahun ini. Tahun kemarin masih di angka Rp 8 miliar jadi relatif minim," katanya.
Dia mengatakan, 80 persen dari anggaran logistik kebencanaan non-Covid-19 sebesar Rp 6 miliar itu sudah terserap. Namun, kalau terjadi suatu bencana yang membutuhkan anggaran lebih, pihaknya dapat menggunakan dana BTT sebagai cadangannya.
Namun, Dani menilai, penanggulangan bencana bukan bertumpu pada kewajiban pemerintah provinsi semata. Karena, pemerintah kota/kabupaten pun memiliki tugas utama penanganan kebencanaan.
"Campur tangan provinsi sifatnya pendampingan kota kabupaten. Kami sudah dorong kabupaten/kota (untuk menganggarkan) yang saya lihat penurunan anggarannya tidak seperti provinsi," katanya.
Terkait tren bencana yang terus meningkat, menurut Danu, hal itu disebabkan banyak faktor. Pertama, karena degradasi lingkungan terus terjadi.
"Daerah yang dulu tidak dihuni jadi dihuni, yang dulu masih hutan sekarang banyak tanaman kebun akibatnya ada erosi. Kemudian erosi timbulkan sedimentasi, sungai dangkal ketika hujan daya tampung meluber dan banjir," katanya.
Faktor kedua, kata dia, yaitu masalah non-alam seperti drainase yang tidak banyak berkembang. Drainase di kota tetap tidak berubah sementara volume air run off melebihi batas.
Run off seharusnya, bagusnya 10 persen jatuh ke sungai tapi sekarang 70 persen. "Jadi sebesar apapun sungai apalagi tidak dipelihara pasti tidak mampu menampung air run off. Makanya bencana terjadi," katanya.