REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) terdampak dan jadi turun kelas bahkan nonaktif. Lembaga Swadaya Masyarakat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch mencatat peserta total JKN-KIS turun sekitar 2 jutaan selama kurun waktu 2019 hingga 2020.
"Total peserta JKN-KIS selama 2019 sekitar 224 juta dan di 2020 akhir jadi 222 jutaan atau 82,73 persen. Jadi kepesertaan JKN-KIS secara total turun sekitar 2 jutaan," ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar saat dihubungi Republika, Kamis (16/9).
Untuk mengatasi persoalan ini, BPJS Watch memberikan lima usulan. Pertama, Timboel melanjutkan, BPJS Watch mengusulkan meningkatkan kuota penerima bantuan iuran (PBI) karena angka kemiskinan kini meningkat. Pihaknya meminta sementara tambah kuota PBI selama masa pandemi. Jadi, dia menambahkan, peserta kelas 3 yang tidak mampu bisa masuk menjadi PBI. Sebab, dia melanjutkan, peserta kelas 3 yang miskin bahkan fakir kemudian tidak mampu membayar iuran kemudian bagaimana bisa membayar premi. Akhirnya mereka menunggak. Ia menambahkan, banyak peserta pekerja informal yang terdampak pandemi akhirnya daya belinya menurun.
"Apalagi di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mengatakan PBI yang seharusnya ditanggung sekitar 107 juta, jadi bukan 96,8 juta seperti sekarang. Artinya seharusnya tambah PBI nya sesuai RPJMN karena itu yang dibutuhkan peserta yang tidak mampu ini," ujarnya.
Kedua, pihaknya meminta pemerintah memberikan relaksasi untuk mengatasi kelas 1 dan 2 yang menunggak iuran. Timboel menambahkan, sebenarnya relaksasi iuran pernah diselenggarakan pemerintah, tapi sekarang sudah tidak diberlakukan lagi. Menurutnya, kebijakan ini seharusnya kembali diberlakukan. Usul ketiga, dia melanjutkan, refocussing anggaran pemerintah daerah untuk penanganan Covid-19 misalnya untuk perjalanan dinas atau bepergian bisa dialihkan dan dialokasikan di bidang kesehatan termasuk tambahan PBI yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Usul keempat, dia menambahkan, adalah ubah regulasi yang mengatakan satu keluarga harus satu kelas. Misalnya ada satu anggota keluarga kelas 1 maka anggota keluarga yang lain kelas 1 semua. Akhirnya, dia melanjutkan, iuran premi yang harus dibayar tak sedikit. Saran terakhir atau kelima yaitu ubah juga pembayaran iuran satu anggota keluarga.
"Dulu masih boleh membayar iuran satu-satu, kemudian ada peraturan presiden (perpres) nomor 19 membuat pembayaran (keluarga) disatukan," ujarnya.
Akibatnya, dia melanjutkan, iuran yang harus dibayar satu keluarga ini banyak. Padahal, dia melanjutkan, peserta JKN-KIS yang mendapatkan upah untuk membayar iuran tak sebanyak itu. Akhirnya menunggak membayar semua anggota keluarga. Menurutnya jika aturannya diubah iuran boleh dibayar per orang lebih baik dibandingkan harus satu keluarga dan nominal yang harus dibayar lebih banyak. Apalagi, dia melanjutkan, pekerja yang paling terdampak adalah sektor informal, bukan penerima upah. Artinya tidak mendapatkan upah maka tidak bisa membayar iuran anggota keluarganya sekaligus.
"Ini perlu dilakukan karena kita belum kembali normal, sementara aktivitas selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) belum bisa dibilang kembali normal," ujarnya.
Kalau usulan ini tidak dijalankan, ia khawatir peserta yang nonaktif semakin banyak, menunggak. Akhirnya peserta nonaktif atau menunggak iuran tidak mendapatkan jaminan kesehatan.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Achmad Yurianto mengungkapkan dampak pandemi Covid-19 terhadap pelayanan BPJS Kesehatan cukup besar. Salah satu dampak ialah menurunnya peserta aktif BPJS Kesehatan.
“Ada kecenderungan bahwa peserta aktif, artinya yang memenuhi kewajiban membayar premi, semakin menurun. Artinya yang tidak aktif cenderung untuk bertambah,” kata Yuri dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (16/9).