REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Riba telah membudaya di masa jahiliyah hingga memasuki masa awal Islam, sampai kemudian turun ayat Alquran yang melarang praktik haram tersebut.
Ayat ters but ialah ayat 275, 278, dan 279 pada surat Al Baqarah. M Luthfi Hamidi, dalam 'The Crisis: Krisis Manalagi yang Engkau Dustakan?', menjelaskan karena saking membudayanya praktik riba, maka sukar untuk membayangkan ketika ada larangan riba secara tiba-tiba.
Tak heran, di masa awal pelarangan riba, ayat yang turun hanya memberikan pandangan obyektif soal riba.
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
"Bahwa riba yang dipandang sebagai alat efektf untuk meraup dan memperbesar aset, modal, atau harta kekayaan, itu ternyata hakekatnya tidak memberikan kelipatan apa-apa di sisi Allah. Sebaliknya, zakat, yang secara fisik mengurangi harta, diberikan apresiasi yang tinggi dengan dilipatgandakan di hadapan Allah SWT. (QS Ar Rum 39)," terang Luthfi.
Setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah, dan ketika pengaruh politisnya kian kuat, barulah proses pelarangan riba secara bertahap ini dilakukan.
Sebagian kalangan merasa resah ketika praktik riba itu dilarang. Mereka mempertanyakan mengapa riba dilarang, karena riba menurut mereka, termasuk jual-beli yang sah.
Alquran pun dengan jelas menyampaikan argumentasi yang digunakan oleh orang-orang yang tidak suka dengan aturan yang melarang riba.
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ "Mereka (para pemakan riba) berkata, "Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba." (QS Al Baqarah ayat 275)
Kalangan yang mendukung praktik riba, menganggap bahwa kelebihan dari pokok utang yang mereka pinjamkan itu sama dan sebangun dengan keuntungan yang diperoleh dari perdagangan.
Abu Bakr Al Jassas, dalam Ahkam Al-Qur'an, menjelaskan bahwa riba adalah utang yang diberikan dengan waktu jatuh tempo yang telah ditentukan di mana saat jatuh tempo itu si debitor (pengutang) harus membayarkan sejumlah tambahan kepada kreditor (pemberi utang).
"Bila merujuk pada definisi tersebut, setiap tambahan yang telah disyaratkan, tidak peduli tambahannya sedikit atau berlipat ganda, masuk dalam kategori riba," jelas Luthfi.