REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelabuhan kerap dituding sebagai faktor pemicu high cost economy. Biaya logistik di Indonesia disebut mencapai 23 persen terhadap produk demostrik bruto (PDB). Padahal, pelabuhan bukan faktor tunggal pemicu biaya logistik yang tinggi dalam tata ekonomi negeri ini. Malahan, kinerja pelabuhan di Indonesia sebenarnya terus membaik setiap tahunnya.
Executive Director Samudra Shipping, Asmari Herry Prayitno mengutip laporan Logistics Performance Index (LPI) yang menunjukkan kinerja pelabuhan Indonesia mengalami peningkatkan mulai 2012 sampai 2018. Menurut dia, peringkat Indonesia pada 2012 di urutan 59 dan pada 2018 naik menjadi 46.
"Artinya ada perbaikan. Tentunya perbaikan ini beberapa faktor, mulai custom (bea cukai), infrastruktur, international shipment, trucking, tracing, dan timeliness, ini sangat kompleks," kata Herry dikutip Republika dalam webinar Diskusi Ocean Week di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, memang posisi Indonesia dibandingkan negara Asia Tenggara bukan yang tertinggi. Indonesia berada di bawah Thailand di urutan 32, Vietnam 39, dan Malaysia 41. Namun, jangan lupa, Indonesia masih unggul dibandingkan dengan Filipina yang menempati peringkat 60. Bagi Herry, Filipina adalah komparasi yang pas untuk disandingkan dengan kondisi geografis Indonesia.
"Filipina karena sama-sama negara kepulauan, banyak ruang untuk kita perbaiki dan improvement. Salah satu bottle neck karena pelabuhan kita bukan transhipment, tapi gatweway, jalan tol masuk pelabuhan itu (juga) yang perlu diperbaiki. Kita fokus domestik komponen logistik ocean freight, terminal handling cost," ujar Herry.
Dengan kondisi seperti sekarang, kata dia, perlu dilakukan perbaikan di semua level untuk menekan biaya logistik agar pengiriman barang semakin efisien. Tentu saja, perbaikan bukan dilakukan di dalam pelabuhan semata, melainkan menyeluruh karena biaya logistik terdiri beberapa macam. Dengan memperbaiki berbagai faktor yang tidak efisien terkait pengiriman barang, menurut Hery, hal itu bisa menekan biaya logistik.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional, Kemenhub diberi tugas Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengintregrasikan sistem perizinan dan layanan ekspor impor, serta logistik melalui Indonesia National Single Window (INSW).
Langkah itu untuk menurunkan biaya logistik nasional yang dipandang masih tinggi. "Dukungan Kemenhub dengan kementerian terkait, salah satunya melalui Nasional Logistik Ekosistem (NLE), untuk menuju e-logistik sistem, door to door system yang memungkinkan sistem logistik lebih efisien dan terintegrasi," ujar Budi di acara yang sama.
Budi pun merujuk laporan LPI yang menunjukkan kinerja pelabuhan Indonesia mengalami tren positif mulai 2012-2018. Dia menyebut, Indonesia mengalami peningkatan kinerja 16,3 persen dengan indikator kinerja infrastruktur transportasi yang membaik.
Budi juga mengutip hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang menunjukkan, biaya logistik dibagi menjadi tiga faktor, yaitu 50 persen untuk di darat, 30 persen di pelabuhan atau terminal, dan 20 biaya pelayaran. "Dapat kita ketahui biaya logistik tidak hanya terpaku pada biaya pelayaran saja, namun ada aspek lain yang mempengaruhi," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah menginisiasi terbentuknya Nasional Logistis Ekosistem (NLE) yang mengintegrasikan layanan goverment to government to business (G to G to B). Dengan dukungan teknologi, Budi meyakini, hadirnya NLE bisa membuat biaya pengiriman barang semakin kompetitif sehingga berdampak menekan biaya logistik nasional.
Ketua Dewan Pakar Asosiasi Logistik Indonesia, Nofrisel Arlis mengatakan, masalah logistik membutuhkan kepastian. Dia menyebut, tingginya biaya logistik terhadap PDB akibat regulasi yang tak kunjung tertib, overlapping, kontraproduksi di tingkat nasional dan daerah, regulasi sangat sektoral di kementerian yang bisa saling berbeda, serta lemah dalam hal penegakan hukum (law enforcement).
Nofrisel menyinggung, industri sudah berupaya keras menurunkan biaya logistik, tapi pengelolaan infrastruktur dan fasilitas logistik yang high cost membuat upaya itu tak berarti. Menurut dia, semua pihak, baik pelabuhan, penyedia jasa logistik, dan pemilik barang harus saling berkolaborasi dan membangun kepercayaan satu sama lain.
Jika masalah yang dibenahi hanya satu sektor saja, misalnya di pelabuhan, hal itu tidak serta merta membuat biaya logistik menurun. Meski begitu, Nofrisel tetap mendorong pengelola pelabuhan untuk memaksimalkan teknologi guna mengefisienkan layanan agar proses pengiriman barang bisa dilakukan secara cepat.
"Kita tak bisa kirim barang secara digital, kita harus kirim secara fisik, teknologi digital secanggih apapun harus bisa mendorong pengiriman barang secepat apapun. Harus dipahami mendorong barang secara fisik, orang yang bekerja mengelola itu kita dorong perusahaan bekerja sama lebih baik dan profesional," ujar Nofrisel.
Digitalisasi layanan
Dirut Pelindo II (Persero) Arif Suhartono melanjutkan, penelitian Bank Dunia pada 2019 menunjukkan biaya logistik di Indonesia mencapai 23 persen terhadap PDB. Jika dibandingkan dengan negara lain, sambung dia, biaya Indonesia termasuk yang besar. Namun demikian, Arif meminta data tersebut tidak bisa langsung dijadikan alat pembenar jika biaya logistik di negeri ini mahal.
"Kita tak bisa membandingkan secara number to number tanpa mempertimbangkan negara kita. Singapura negara kecil, (biaya logistik) delapan persen, terkoneksi semua dibandingkan negara kita, negara kepulauan, berbeda," ujar Arif.
Jika dirinci lebih detail, kata Arief, water hanya menyumbang dua persen biaya logistik. Adapun inventory dan land menyumbang angka cukup besar di kisaran delapan persenan. Dia menyebut, ada lima masalah utama yang harus dibenahi terkait biaya logistik yang masih mahal dibandingkan negara lain.
Di antaranya, regulasi pemerintah yang tak kondusif, efisiensi value chain darat yang rendah, efisiensi value chain maritim yang rendah, operasi dan infrastruktur pelabuhan tidak optimal, serta supply demand tak seimbang.
"Kapal ke timur penuh, baliknya mungkin 20 persen, artinya yang terjadi hampir setiap hari ada tuslah. Bicara pelabuhan itu bicara network, tak single port. Pelabuhan A mungkin bagus, B tak bagus. Pelabuhan A bongkar muat satu hari, B bongkar muat tiga hari, overall cost A ke B tinggi, performansi di pelabuhan masih disparitas," ujar Arif.
Dia merujuk kembali penelitian Bank Dunia yang menunjukkan port costs hanya empat persen dari total biaya logistik nasional. Adapun angka terbesar disumbang inventory 36 persen, hinterland transport 23 persen, sea freaight 12 persen, dan sisanya faktor damage dan admin.
Dengan data seperti itu, Arif tidak menutup mata untuk membantu memperbaiki layanan di pelabuhan agar biaya logistik turun. Dia pun mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pembenahan di internal. "Kami memperpendek port stay. Isunya adalah performansi rendah, network dari shipping tak optimal," ucap Arif.
Menurut Arif, ada tiga hal pokok yang dibenahi di pelabuhan, yaitu terminal, akses menuju dan dari terminal, serta fasilitas pendukung, salah satunya depo. Dari tiga aspek tersebut, sambung dia, harus sama-sama diperbaiki guna mencapai titik optimal agar imbang.
Pasalnya, jika satu saja kapasitasnya tak setara maka bisa memicu kemacetan dan membuat distribusi barang menjadi tidak lancar. Arif menyatakan, pihaknya juga sudah berupaya memperpendek port stay kapal.
Dia mencontohkan, Pelabuhan Pontianak, Kalimantan Barat, beberapa tahun lalu lalu, sebuah kapal untuk bisa sandar membutuhkan waktu tunggu tujuh hari dan bongkar muat kontainer 500 TEUs perlu tiga hari. Dengan waktu 10 hari, ia menganggap, bongkar muat di Pelabuhan Pontianak, sangat tidak efektif.
Dia pun memperbaiki berbagai layanan di lapangan hingga sekarang bisa dilakukan hanya dalam waktu sehari. Sehingga, kapal bisa lebih produktif mengangkut barang karena waktunya tidak dihabiskan untuk menunggu di pelabuhan. Kunci pembenahan itu juga berkat sentuhan digitalisasi sistem yang memunculkan akuntabilitas di seluruh stakeholder.
"Bongkar muat di Priok sehari 500 TEUs gak sampai sehari. Saat ini di Pontianak tak perlu menunggu, terminal dan bongkar muat relatif cepat, kapal 500 TEUs kalau dikurangi 10 hari dari dua hari, satu bulan volume efisiensi yang dilakukan akibat perbaikan layanan bisa dihitung dengan mudah. Service charge di pelabuhan juga transparan," ujar Arif.
Salah satu gebrakan yang dilakukan Pelindo II (IPC) untuk meningkatkan perfoma pelabuhan adalah memanfaatkan teknologi. Digitalisasi layanan membuat semuanya menjadi transparan dan akuntabel. Arif menegaskan, Pelindo II sudah menerapkan single ID dan Drive ID di Pelabuhan Tanjung Priok.
Dengan begitu, semua data pengiriman barang dan armada terkoneksi di dalam sebuah sistem. Pun masalah yang selama ini kerap mendapat sorotan publik, seperti ada sopir belum cukup umur alias sopir tembak, untuk mengirim barang ke pelabuhan, bisa dicegah. Menurut Arif, kebijakan itu dilakukan demi meningkatkan pelayanan di pelabuhan dan menciptakan transparansi.
Sehingga, ujung dari semua layanan itu adalah kepastian, dan membuat seluruh pemangku kepentingan mendapatkan kepuasan. "Tujuan integrasi data dari pelabuhan origin sampai tujuan terkoneksi semua akan membuat transparansi agar pelayanan bisa bagus," ujar Arif.
Dia juga menyinggung, langkah pemerintah melakukan integrasi Pelindo I sampai IV memiliki keterkaitan dengan layanan pelabuhan di Indonesia yang belum tersandardisasi, seperti contoh Pelabuhan di Pontianak dan Jakarta. Arif mengatakan, banyak pelabuhan di wilayah timur, termasuk ada juga di barat, yang layanannya perlu ditingkatkan.
Meski begitu, untuk menetapkan standar layanan yang sama di semua pelabuhan se-Indonesia perlu komitmen semua pihak dan melibatkan seluruh stakeholder terkait. Hal itu juga terkait dengan tingkat sumber daya manusia (SDM) yang berbeda-beda dan fasilitas yang tidak sama.
Solusinya, Arif ingin integrasi Pelindo I sampai IV dibarengi dengan integrasi semua data agar seluruh pelabuhan terkoneksi. Dia ingin sistem yang ada di Tanjung Priok bisa diterapkan di seluruh pelabuhan di Indonesia. Pemanfaatan teknologi dimaksudkan untuk membentuk transparansi agar kinerja pelabuhan semakin meningkat.
"Integrasi diharapkan servis yang ada di Indonesia untuk level pelabuhan tetap, perencanaan bareng-bareng, tetap terintegrasi harus berkolaborasi membicarakan network perhubungan," kata Arif.