Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dicky Mulya Ramadhani

Wacana Presiden Tiga Periode, Celaka Demokrasi Indonesia

Politik | Saturday, 18 Sep 2021, 22:13 WIB
Indonesia dan Demokrasi

Gagasan amandemen undang-undang dasar 1945 tentang perpanjangan jabatan presiden menjadi tiga periode terus bergulir di ranah public dan menjadi diskursus yang amat angat serius baik itu konteks partai politik, tokoh bangsa, para pengamat politik, mahasiswa dan juga masyarakat secara umum. Wacana ini memang bukan suatu hal yang baru, ada yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi delapan tahun dalam satu periode, serta ada juga yang mengusulkan masa jabatan presiden empat tahun dengan mekanisme bisa dipilih sebanyak tiga kal, bahkan sampai lima tahun dan bisa dipilih kembali itupun salah satu menjadi usulan perihal masa jabatan presiden. Wacana pun bergulir di DPR merebak dan menjadi suatu polemik.

Dalam situasi bangsa yang sedang mengalami masa pandemi covd-19 isu wacana itu dinilai tidak mengandung makna etis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena seharusnya seluruh elemen pemerintah perlu meningkatkan rasa saling bahu membahu melawan dan bangkit membangun dari keterpurukan situasi dan kondisi. Disatu sisi seharusnya konteks politik harus mampu dalam kondisi seperti ini melahirkan upaya Public Policy yang penuh substansi yang maslahat untuk masyarakat bukan malah ajang politisasi kekuasaan yang menguntungkan sekelompok kepentingan saja. Walaupun memang Majelis Permusyawaratan Rakyat telah (MPR) membantah dan mengelak atas dasar konsensus ini karena tidak terlalu urgensi dengan kepentingan bangsa, namun kendatinya masih ada pihak yang semangat membara menggelorakan perjuangan perpanjangan jabatan presiden menjadi tiga periode yang dalam penggunaan strategi propaganda, manuver politiknya berindikasi pada keriuhan perpecahan situasi bangsa dan dan negara. Perilaku actor politik yang seperti inilah yang membuat hanya sebatas kepentingan oligarki yang menjadi prioritas sehingga suatu perbedaan tidak lagi menjadi keniscayaan yang luar biasa, hingga paling tidak akan menyebabkan pembunuhan secara perlahan estafet regenerasi kepemimpinan, maka merdekalah dan suburlah upaya korupsi dan nepotisme

Maka hal itu menggambarkan bagaimana suatu kekuasaan atau kewenangan para elite kekuasaan politik begitu praktis dan licin dalam akselerasi kepentingan politiknya, maka hal ini akan menuju kepada arah matinya dan lumpuhnya Demokrasi, yang juga akan berdampak kepada hambatan stuck dalam konteks regenerasi kepemimpinan, Begitu kurang lebih saya menginterpretasikan apa yang dikatakan oleh Wayne Pace dan Don F Faules (1994).

Dalam hal itu perlu kita pahami bersama selaku kaum muda dan juga mahasiwa untuk ikut andil Check and Belance dalam posisi isu wacana tersebut, karena hari ini ketika proses regenerasi kepemimpinan dihambat dan tersumbat, maka iklim Demokrasi mencoba mencapai puncaknya Demokrasi mati. Seperti apa yang dikatakan Steven Levitsky dalam buku How Democracy Die nstitusi menjadi senjata politik, digunakan secara paksa oleh mereka yang berkuasa melawan mereka yang tidak. Beginilah cara otokrat terpilih meruntuhkan Demokrasi memenuhi dan "mempersenjatai" peradilan dan badan negara netral lainnya, membeli media dan sektor swasta (atau menekan mereka untuk diam), dan menulis ulang aturan main politik agar membuat arena pertandingan jadi tak adil bagi lawan. Maka sederhana dapat kita simpulkan bahwasannya Demokrasi dan proses regenerasi akan rusak. sikap dan perilaku elite politik seperti itu dapat membangun budaya politik yang pragmatis, eksklusif dan orang-orang yang haus akan kekuasaan.

Masa depan demokrasi kita rasanya belum akan pulih dalam waktu dekat dan cepat. Model post-democracy akan tetap bercokol dalam kehidupan politik kita. Memang kita tidak akan mengarah pada model pemerintahan otoriter, namun juga belum akan mengarah pada bentuk pemerintahan demokrasi tulen. Berbagai indikasi menjelang dan saat terjadinya pandemi Covid-19, tidak menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada dukungan bagi perbaikan demokrasi malah seakan terus menggerogoti. Maka perlu terobosan-terobosan baru yang konstruktif.

Oleh karena itu Prof. Dr. Firman Noor, mengungkapkan tidak ada pilihan bagi kalangan civil society terkhusus kaum muda dan mahasiwa untuk bangkit memainkan peran asasinya dalam melindungi dan menyuburkan kehidupan demokrasi kita, baik pada masa pandemi Covid-19 maupun sesudahnya. Kerja kolektif para pihak yang peduli terhadap kualitas kehidupan demokrasi harus makin digiatkan, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan konstitusional anak bangsa.

Oleh: Dicky Mulya Ramadhani

Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UMJ

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image