REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ialah operator lapangan. Menurut dia, sejak awal persoalan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK mencuat, Firli Bahuri dkk memiliki niat mengeluarkan para pegawai KPK yang kritis terhadap pemberantasan korupsi.
"Firli Bahuri dan kawan-kawan adalah operator lapangan, mengapa? Karena setidak-tidaknya yang terbuka kepada publik niat untuk menghabisi kawan-kawan yang kritis di dalam dan setiap ada pemberantasan korupsi sudah ada pada September 2019," ujar Asfinawati dalam diskusi publik daring bertajuk 'Akhir Nasib Pemberantasan Korupsi?', Ahad (19/9).
Dia juga menyebutkan, sikap itu juga terjadi beriringan dengan revisi Undang-Undang tentang KPK. Muncul pula pada saat itu secara terbuka mengenai taliban.
Menurut Asfinawati, hal-hal demikian menunjukkan adanya skenario besar dibalik kisruh TWK KPK. Bahkan, dugaan ini sudah bermula sejak pemilihan panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK yang dinilai koalisi masyarakat sipil diwarnai permasalahan berujung pelemahan pemberantasan korupsi.
"Hasil dari pansel diterima bulat-bulat oleh Pak Presiden diserahkan kepada DPR dan tentu saja digolkan oleh DPR. Jadi ini adalah sebuah rangkaian yang sudah kita prediksi," kata dia.
Dia melanjutkan, akibat dari skenario ini bukan saja pemecatan terhadap para pegawai KPK melalui proses TWK. Pimpinan KPK sekarang ini justru berhasil menurunkan indeks persepsi korupsi 2020 sebanyak tiga poin, menempatkan Indonesia di bawah Timor Leste sebagai negara yang baru merdeka.
Selain itu, kata Asfinawati, Pimpinan KPK saat ini pun berhasil menurunkan jumlah penyelidikan. Berdasarkan data KPK, jumlah penyelidikan pada 2018 sebanyak 164, turun pada 2019 menjadi 142, turun lagi pada 2020 menjadi 111, dan sepanjang 2021 baru ada 41 penyelidikan.
"Sudah terjadi penurunan yang signifikan penyelidikan dan ini tampaknya yang memang diinginkan, belum lagi kasus-kasus misalnya mantan calon legislatif itu bisa buron dan tidak ketemu sampai sekarang. Padahal Ketua DPR Setnov (Setya Novanto) dan ketua partai bisa ditangkap oleh KPK di periode sebelumnya," jelas Asfinawati.