REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Keberatan yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) atas laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Republik Indonesia mengenai tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK menjadi sejarah baru. Untuk pertama kalinya pihak terlapor menyampaikan keberatan terhadap LAHP Ombudsman.
"Dalam sejarah perjalanan Ombudsman, ini lah pertama kalinya di mana pihak terlapor menyampaikan keberatan, baru pada kasus ini," ujar Anggota Ombudsman Republik Indonesia Robert Na Endi Jaweng dalam diskusi publik daring bertajuk 'Akhir Nasib Pemberantasan Korupsi?' pada Ahad (19/9).
LAHP Ombudsman berisi temuan yang menyatakan ada atau tidak adanya maladministrasi dalam suatu kasus. Robert mengatakan, biasanya pihak pelapor yang menyampaikan keberatan atas LAHP tersebut.
Sebab, selama ini dalam konstruksi kasus di Ombudsman, pihak pelapor selalu diposisikan sebagai korban yang mempunyai masalah dan menyampaikan pengaduan atau laporan. Biasanya pihak pelapor yang menyampaikan keberatan karena Ombudsman menyatakan tidak menemukan tindakan maladministrasi.
"Kami kaget karena KPK dan BKN menggunakan itu yang posisi mereka adalah sebagai pihak terlapor. Tapi ok kita menghormati itu karena kan ruangnya kita berikan," kata Robert.
Ombudsman mengeluarkan LAHP mengenai TWK KPK yang isinya meminta tindakan korektif kepada KPK dan BKN sebagai pihak terlapor sekitar 1,5 bulan lalu. Namun, tidak ada tindakan korektif atau perbaikan, yang muncul justru surat keberatan dan catatan dari keduanya.
Robert menuturkan, Ombudsman terus melakukan monitoring kepada KPK dan BKN terhadap tindak lanjut tindakan korektif dilakukan. Tidak ada tindakan korektif yang sudah dilaksanakan KPK.
Sedangkan meskipun menyampaikan keberatan, tetapi BKN menjalani sebagian tindakan korektif dengan membuat peta jalan mengenai proses peralihan pegawai suatu lembaga menjadi ASN. Tidak hanya KPK, mungkin suatu saat ada peralihan status pegawai di lembaga lain.