Senin 20 Sep 2021 05:32 WIB

Gema Adzan Bersahutan: Bilamana Bumi tanpa Perbedaan Waktu?

Perbedaan waktu ternyata hanya soal politik dan ekonomi.

Garis meridian nol derajat di Royal Observatorium di Greenwich, Inggris.
Foto: Alalamy
Garis meridian nol derajat di Royal Observatorium di Greenwich, Inggris.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller.

Pernahkah membayangkan bumi tak memiliki perbedaan waktu? Semisal di Jakarta saat ini jam 12.00 siang, maka di Palestina, Eropa, Australia, dan belahan bumi lainnya juga jam 12.00 siang. Sekalipun di satu tempat jam 12.00 siangnya matahari masih bersinar terang dan di tempat lain telah gelap gulita. 

Perbedaan waktu itu barangkali tidak terlalu dirasa bagi mereka yang tidak terhubung dengan orang-orang yang tinggal di belahan bumi berbeda. Namun sebaliknya, mereka yang memiliki urusan akan kerepotan di saat waktunya bangun, sementara di tempat lain masuk waktunya tidur.

Ide penggunaan satu waktu yang sama alias waktu universal itu dicetuskan oleh profesor fisika dan astronomi dari Johns Hopkins, Dick Henry, dan ekonom bernama Steve Hanke.

Menurut dia, secara fisika hanya ada satu waktu di bumi ini, sedang perbedaan waktu yang ada saat ini berdasar pertimbangan ekonomi dan politis.

Mereka mencontohkan, Rusia memiliki 11 zona waktu berbeda, sedangkan China yang wilayahnya sama luasnya hanya memiliki satu zona waktu. 

Kalau kita tahu, perbedaan waktu antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura pun berdasar pertimbangan ekonomi dan politis. Malaysia dan Singapura 1 jam lebih awal dari Jakarta.

Melansir Science Alert, zona waktu standar pertama kali diadopsi di Inggris oleh operator kereta api pada tahun 1847. Pada tahun 1848, sebagian besar kereta api lantas mengikuti GMT.

Pada 13 Oktober 1884, ahli geografi dan astronomi menetapkan Royal Observatorium di Greenwich sebagai Prime Meridian (Garis Bujur Utama) dan menjadi standar waktu dunia. 

Penerapan GMT didasari oleh perjalanan matahari ketika melewari garis meridian nol derajat di Royal Observatorium di Greenwich. Perhitungan ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara di dunia.

Sekalipun kedua professor itu telah membuatkan perhitungan yang rumit, bahkan kalender khusus untuk mendukung teori mereka, tapi banyak pakar tak sepakat dan memberikan bantahan. 

Bumi zonder perbedaan waktu akan membawa serangkaian konsekuensi kesehatan yang serius. Seperti kenaikan berlipat angka kanker payudara, obesitas, diabetes, dan penyakit jantung akibat jungkir baliknya waktu.

"Anak-anak akan kurang tidur dan cenderung tidak bersekolah. Mengurangi waktu yang dihabiskan untuk belajar, dan meningkatkan waktu yang dihabiskan untuk aktivitas santai," ujar kandidat PhD Cornell University, Maulik Jagnani.

Benarkah bumi lebih baik tanpa perbedaan waktu? 

Tak banyak yang menyadari bahwa hikmah adanya perbedaan waktu ternyata sangat luar biasa. Allah ingin menyatukan hambanya dalam ketaatan.

Apa pasal? Selama 24 jam manusia tak pernah lepas dari kumandang adzan dan melaksanakan shalat. 

Ini terjadi akibat rotasi bumi terhadap matahari. Di satu tempat matahari mulai muncul di ufuk tanda adzan Subuh akan segera berkumandang, di belahan bumi lain adzan Isya baru saja selesai diperdengarkan.

Suara adzan ini sambung-menyambung, semisal dari wilayah paling timur Indonesia, Papua, lalu terus ke Barat melintasi semua wilayah di nusantara, lanjut ke Asia hingga Rusia.

Dari anak benua India, ke Afghanistan, Muscat, Baghdad, Makkah, Madinah, Yaman, Uni Emirat Arab, Kuwait, lalu ke benua Eropa, Amerika, Amerika Latin, dan seterusnya.

Kumandang adzan akan terjaga selama bumi masih berputar hingga masanya tiba. ''Kiamat tidak akan terjadi hingga tidak ada lagi manusia yang menyebut nama Allah di muka bumi ini.''

Jadi, bersyukurlah dengan perbedaan waktu yang ada karena berarti masih ada hamba yang menyebut nama-Nya.

Jakarta, 17/9/2021.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement