REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menargetkan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2022 sebesar Rp 203,92 miliar. Angka ini tumbuh 11 persen dari outlook 2021. Nantinya tarif cukai tembakau akan naik di atas 20 persen pada tahun depan termasuk harga jual eceran rokok.
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menilai jika cukai dinaikkan maka beban pembiayaan semakin besar pada tingkat dasar mata rantai industri tembakau.
“Kondisi ekonomi petani akan berdampak adanya kebijakan tersebut. Kita menolak kenaikan cukai jadi pada suasana dan situasi pandemi semacam ini ekonomi petani sangat berat,” ujar Ketua APTI Soeseno saat konferensi pers, Senin (20/9).
Menurut Soeseno sejak 2015 petani menerima beban kenaikan cukai dengan harga serapan tembakau dari industri yang cukup rendah.
“Jika pemerintah menaikan cukai, maka konsumen akan beralih mengkonsumsi rokok dengan kualitas yang rendah. Dampaknya, tembakau dengan kualitas yang bagus, tidak akan terserap,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP RTMM) SPSI Sudarto mengungkapkan industri selama hampir 10 tahun mengalami penurunan. Selayaknya pemerintah perlu memberi perhatian serius untuk menyelamatkan industri padat karya tersebut, bukannya hanya fokus pada kepentingan pendapatan negara lewat kenaikan cukai.
“Pemerintah harus paham dan peduli korban sesungguhnya dari kebijakan kenaikan cukai yang selama ini termarjinalkan adalah buruh tani dan buruh rokok. Kenaikan cukai berdampak pada industri yang secara pasti akan memukul anggota kami para buruh yang mayoritas terlibat di produksi sigaret kretek tangan. Tolong bantu selamatkan mata pencaharian kami dengan tidak menaikkan tarif cukai 2022, lindungi industri padat karya,” ungkapnya.
Dari sektor hilir industri hasil tembakau (IHT), Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (Akrindo) juga berharap pemerintah mempertimbangkan untuk menunda kenaikan cukai. Pada masa pandemi, para pelaku koperasi retail dan UMKM retail sedang berupaya menyembuhkan kondisi ekonomi mereka.
“Saat ini adalah situasi yang tidak mudah bagi para peretail koperasi dan UMKM. Kami sedang mencari keseimbangan ekonomi. Apalagi mengingat dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN), sektor retail belum tersentuh, belum ada insentif. Posisi kami akan semakin lemah dengan kenaikan cukai rokok, sebab selama ini rokok punya kontribusi 20 persen sampai 25 persen terhadap omset penjualan,” ungkap Wakil Ketua Umum DPP Akrindo, Anang Zunaedi.