Masyarakat Didorong Pakai Etika Berbahasa di Ruang Digital
Red: Fernan Rahadi
Berinteraksi di ruang digital (ilustrasi) | Foto: ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pegiat literasi digital nasional, Riant Nugroho, mendorong masyarakat agar memakai bahasa yang benar dan beretika di ruang digital. Menurut Riant, berbuat baik pada kehidupan manusia di ranah digital melalui pesan yang disampaikan secara tekstual, visual, maupun audio visual dengan bahasa yang baik dan benar akan berpengaruh pada kehidupan bersama dari suatu kelompok manusia.
"Bahasa yang baik akan muncul dari niat baik penuturnya atau kebaikan dalam hal cara dan tujuan. Sedangkan bahasa yang benar artinya sesuai dengan tata bahasa maupun kaidah berbahasa, sebagaimana diatur dalam EYD (Ejaan yang Disempurnakan-Red)," ujarnya saat webinar Kemenkominfo yang mengusung tema "Berbahasa yang Benar dan Beretika di Ruang Digital", Senin (20/9) lalu.
Riant mengungkapkan, bahasa di ranah digital sejatinya merupakan campuran dari enam bahasa yakni bahasa Indonesia EYD, bahasa media massa, media sosial, komunitas digital, emosional, dan bahasa mesin. "Yang pasti, bahasa digital tidak sama lagi dengan bahasa Indonesia EYD," jelasnya.
Menurut Riant, ada beberapa ciri bahasa di ranah digital yang benar dan baik di Indonesia pada konteks pendidikan yang melebihi etika. Dianggap baik jika hal itu membuat peserta didik mencintai ilmu, menciptakan insan yang terhormat, mengedepankan tanggung jawab, dan merawat kebangsaan (Pancasila).
"Sedangkan dianggap benar jika merupakan campuran dari enam jenis bahasa digital tadi, menguasai literasi digital, santun, tidak melanggar hukum, dan memberi kebaikan," kata doktor kebijakan publik itu.
Riant berharap, selain berbahasa yang benar dan baik, pengguna digital hendaknya selalu memakai bahasa yang jauh dari kebencian, menghormati keberagaman (multikultur), dan selalu menggunakan bahasa yang tidak melanggar UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) agar tidak berurusan dengan tuntutan hukum.
Dari perspektif kecakapan digital, pegiat kewirausahaan sosial Yuni Mustani menyatakan, bahasa adalah cermin diri yang muncul dari etalase beberapa media sosial yang kita gunakan seperti Facebook, Instagram, TikTok, Linkedin, maupun Twitter. "Media sosial yang kita gunakan merupakan etalase representasi, refleksi, bahkan menunjukkan personalitas penggunanya," tutur Yuni.
Menurut Yuni, sopan santun berbahasa yang disebut tata krama berbahasa atau etiket berbahasa, pada dasarnya merupakan sikap penutur kepada mitra tutur yang terwujud dalam penggunaan bahasanya. "Sopan santun berbahasa juga menunjukkan sikap hormat penutur kepada mitra tutur yang diwujudkan dalam tuturan yang sopan," katanya menambahkan.
Inti dari berbahasa atau bertutur, lanjut Yuni, adalah respek pada diri sendiri, orang lain, perbedaan pendapat, nilai dan norma, multikulturalisme, dan pluralisme. Sedangkan prinsip dasarnya adalah "think first", yakni mempertimbangkan situasi saat berinteraksi, dengan siapa berinteraksi, waktu interaksi, dan pertimbangan manfaat kebajikan.
"Prinsip dasar think first di ruang publik lainnya adalah gunakan bahasa yang baik dan sopan, perhatikan panjangnya pesan, gambar, emoticon, gunakan huruf besar (kapital) dengan tepat, sapaan yang tepat, memberi salam atau ucapan terima kasih, dan memakai pernyataan positif," kata Yuni.
Sementara itu, dari perspektif etika digital, Eddie Siregar berpendapat, pengguna digital hendaknya memiliki kesadaran ketika menulis ataupun mengunggah sesuatu ke media sosial. Hal itu sesuai dengan prinsip fungsi bahasa yang merupakan ekspresi diri, komunikasi, integrasi dan adaptasi sosial, dan kontrol sosial.
"Fungsi bahasa sebagai komunikasi yang berhasil adalah ketika pesan yang disampaikan diterima dan dipahami dengan kerangka acuan yang sama dengan pengirim. Selain menjadi cermin kepribadian, bahasa juga melambangkan bangsa," jelas pegiat empat pilar kebangsaan, yang mantan Sekjen MPR itu.