Selasa 21 Sep 2021 17:15 WIB

Ketua DPRD Diperiksa Soal Mekanisme Anggaran Tanah di Munjul

Prasetyo juga mengaku tidak mengenal dengan para tersangka yang terlibat.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi (tengah) berjalan saat akan menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (21/9/2021). KPK memeriksa Prasetyo Edi Marsudi sebagai saksi untuk tersangka mantan Direktur utama Perumda Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan (YRC) atas kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di Munjul, Cipayung, Jakarta Timur.
Foto: ANTARA/M RISYAL HIDAYAT
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi (tengah) berjalan saat akan menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (21/9/2021). KPK memeriksa Prasetyo Edi Marsudi sebagai saksi untuk tersangka mantan Direktur utama Perumda Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan (YRC) atas kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di Munjul, Cipayung, Jakarta Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi mengaku dicecar terkait mekanisme penganggaran untuk pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Prasetyo Edi diperiksa KPK dalam kapasitasnya sebagai saksi dalam perkara tersebut.

"Tadi ditanya soal mekanisme aja, mekanisme penganggaran dari RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), KUA (Kebijakan Umum Anggaran) dan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) gitu aja," kata Prasetyo usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (21/9).

Baca Juga

Dia menjelaskan, mekanisme bahasan anggaran dilakukan dalam rapat banggar. Dia mengatakan, penganggaran memang dibahas dalam rapat tetapi tidak dilakukan secara mendetail melainkan keseluruhan.

Dia melanjutkan, pembahasan kemudian dibawa ke banggar besar. Setelahnya, ia mengatakan, banggar mengesahkan atau mengetok palu dan menyerahkan ke eksekutif.

"Nahgelondongan itu saya serahkan kepada eksekutif dan itu eksekutif itu yang punya tanggung jawab," katanya.

Saat yang bersamaan, Prasetyo juga mengaku tidak mengenal dengan para tersangka yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah tersebut. Dia menjelaskan, dirinya juga tidak memimpin rapat dan pembahasan anggaran saat itu.

"Pada saat itu pelaksana badan anggarannya itu bukan saya tapi Pak Tri Wicaksana karena kolektif kolegial. Jadi, bukan saya. Nah, pada saat itu ada defisit anggaran sebesar Rp 18 triliun. Saya sisir sampai surplus Rp 1 triliun itu. Setelah itu gelondongan saya kasih ke eksekutif, gitu aja sudah selesai tugas saya," katanya.

Dalam perkara ini, KPK Direktur Utama Perumda Sarana Jaya, Yoory Corneles, Direktur serta Wakil Direktur PT. Adonara Propertindo, Tommy Adrian (TA) dan Anja Runtunewe (AR) dan Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur (ABAM) Rudi Hartono Iskandar (RHI) sebagai tersangka. KPK juga menjadikan PT Adonara Propertindo sebagai tersangka korporasi.

Kasus bermula sejak adanya kesepakatan penandatanganan Pengikatan Akta Perjanjian Jual Beli di hadapan notaris yang berlangsung di Kantor Perusahaan Daerah Pembangunan Sarana di hadapan notaris antara pihak pembeli yakni Yoory C Pinontoan dengan pihak penjual, yaitu Anja Runtuwene Pada 08 April 2019.

Masih di waktu yang sama, juga langsung dilakukan pembayaran sebesar 50 persen atau sekitar sejumlah Rp 108,9 miliar ke rekening bank milik Anja Runtuwene pada Bank DKI. Selang beberapa waktu kemudian, atas perintah Yoory dilakukan pembayaran oleh Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya kepada Anja Runtuwene sekitar sejumlah Rp 43,5 miliar.

Uang tersebut untuk pelaksanaan pengadaan tanah di Munjul, Kelurahan Cipayung Jakarta Timur. Akibat perbuatan para tersangka tersebut, diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara setidak-tidaknya sebesar sejumlah Rp 152,5 miliar. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement