Selasa 21 Sep 2021 19:08 WIB

Beban Mental dan Psikologis Guru Honorer dalam Seleksi PPPK

Pemerintah diharapkan menghargai usaha dan kerja para guru, terutama guru SD.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Guru honorer mengalami beban psikologis dan mental dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). (Ilustrasi guru)
Foto: Republika
Guru honorer mengalami beban psikologis dan mental dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). (Ilustrasi guru)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabar mengenai betapa sulitnya soal kompetensi teknis guru membuat Ramona Adelina, guru Sekolah Dasar (SD) di Setiabudi, Jakarta Selatan, memilih fokus untuk mempelajari materi terkait. Dia khawatir, nilainya pada soal kompetensi teknis yang mendapatkan afirmasi dari pemerintah jeblok.

Setelah melalui tes selama 170 menit dan menjawab 150 soal dalam seleksi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dia mendapatkan nilai kompetensi teknis guru sebesar 255 poin. Angka tersebut berada cukup jauh di atas ambang nilai batas yang ditetapkan panitia seleksi nasional (Panselnas) sebesar 195 poin.

Baca Juga

Angka tersebut dia catat sesuai arahan dari pengawas tes yang berada di ruangannya. Selain nilai kompetensi teknis, ada nilai-nilai lainnya yang juga keluar setelah dia menyelesaikan pengerjaan soal-soal tersebut, yakni nilai ujian kompetensi manajerial dan sosial kultural serta nilai wawancara.

"Pakemnya (nilai batas), 195 poin, 130 poin (kompetensi manajerial dan sosial kultural), 24 poin untuk wawancara. Tapi yang saya dapet dari hasil nilai saya ujian, saya 255, 174, dan 15. Nah di antara tiga itu ada yang kurang, saya katanya menurut aturannya saya harus tetap ikut ke tahap kedua," ujar wanita berusia 48 tahun yang kerap disapa Mona itu kepada Republika, Selasa (21/9).

Poinnya yang tidak lolos ambang batas nilai tes ada pada bagian wawancara. Orang-orang di sekitar Mona pun bertanya mengapa dia bisa tidak lolos di bagian yang justru guru-guru lain mendapatkan nilai baik. 

Guru yang sudah mengajar sejak 2004 itu mengatakan, dia gemetaran dan panik saat mengerjakan soal karena mendengar kabar soal kompetensi teknis yang paling sulit dan penting. "Setelah saya pikir-pikir, oh mungkin kali karena saya panik. Kan cara kerjanya kan manajerialnya dulu, baru wawancara, baru teknis. Takutnya nanti nggak kedapatan teknis, karena kan yang di-ini-kan kan teknis. Ibaratnya, you kerja di mana, di situlah yang kamu harus melebihi, melampaui," kata Mona.

Ibu dua orang anak itu mengungkapkan, soal-soal yang ada di bagian wawancara menanyakan seputar kemampuannya apabila dijadikan sebagai direktur, manajer, dan lain sebagainya. Ada juga soal-soal terkait pancasila di dalam soal yang dia kerjakan tersebut dengan bacaan soal yang tidak pendek.

"Kebanyakan teknis yang bermasalah. Justru wawancara mereka tinggi-tinggi 30, 39, manajerial juga tinggilah lumayan yang 170. Teknisnya mereka pada rendah yang seusia saya. Ada yang 195, 95, ada yang 165, nggak tercapai gitu," tutur dia.

Untuk soal kompetensi teknis, Mona menjelaskan, soal-soal yang keluar tidak sesuai dengan apa yang dia kerjakan saat mengikuti try out yang dilakukan sebelumnya. Menurut dia, soal-soal yang ada di dalam tes kompetensi teknis itu lebih mirip dengan soal yang pernah ia kerjakan saat kuliah belasan tahun yang lalu untuk mendapatkan SIM guru.

"Ibaratnya waktu Ibu Mona kuliah itu keluarlah udah berapa belas tahun yang lalu. Mengingat itu kan nggak mudah. Kebetulan saya ada lah ingat-ingat itu. Berdoalah. Masuklah saya mengenai teori-teori," terang dia.

Dalam mengerjakan soal-soal yang ada pun dia merasa terhimpit oleh waktu. Itu juga menjadi beban psikologis dan mental yang dia rasakan selama mengerjakan soal.

Mona merasa, beban mental dan psikologis lainnya juga ia rasakan ketika tahu dia tidak lolos tes dan harus mengikuti tes tahap kedua nanti. "Beban mental. Kita udah orang tua. Gitu lho. Kita udah punya malu. Memang sih, 'ah nggak perlulah malu. Kalau memang mau berjuang, ya berjuang.' Ya bukan itu. Nggak semerta-merta seperti itu. Pasti adalah gengsi kita," ujar Mona.

"Coba kalo cucu kamu bilang, 'nenek nggak lulus?' Kan malu. Murid kita negur, 'gimana bu hasilnya lulus nggak?' Kan malu kita. Di orang tua murid, 'gimana bu hasilnya?' Kita mau berbohong kita malu," sambung dia.

Mona berharap agar pemerintah menghargai usaha dan kerja para guru, terutama guru SD. Itu bisa dengan membuat kebijakan bagi para guru honorer negeri yang berusia lanjut untuk langsung diangkat menjadi PPPK. Sebab, dia melihat ada rekan guru kategori 2 (K2) lain yang tengah terbaring sakit di rumah sakit, tapi tetap harus ikut tes seleksi.

"Hargailah usah kerja kami. Jangan kami diabaikan begitu saja. Kami hadapi Covid-19 saja sudah stres, ngajar online juga tidak enak. Murid saja pusing, apalagi kami yang sudah di atas 45 tahun ini," kata Mona. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement