Oleh : Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar
REPUBLIKA.CO.ID, — Tamu sesungguhnya adalah tamu Tuhan yang dititipkan kepada kita untuk dilayani sesuai kemampuan kita.
Bagi umat Islam, memuliakan tamu sudah merupakan suatu keharusan, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib RA:
أكرم الضيف ولو كان كافراً "Akrim al-dhaif walau kana kafiran (Muliakanlah tamunya walaupun ia seorang kafir)."
Dalam kitab-kitab hadits ditemukan suatu bab khusus tentang kemuliaan tamu (takrim al-dhaif). Rasulullah SAW memuliakan tamu tidak hanya dalam wacana, tetapi mempraktikkannya. Banyak hadits menekankan pentingnya menerima dan menghormati tamu.
Sebagai contoh, Rasulullah kedatangan tamu non-Muslim berjumlah 60 orang, 14 orang di antaranya dari kelompok Kristen Najran. Rombongan tamu dipimpin Abdul Masih.
Rombongan ini diterima di masjid dengan penuh persahabatan. Bahkan, menurut Muhammad ibn Ja'far ibn al-Zubair, sebagaimana dikutip Abdul Muqsith dalam kitab Al-Sirah al-Nabawiyyah, karya Ibn Hisyam, Juz II, halaman 426- 428, ketika waktu kebaktian tiba, rombongan tamu Rasulullah ini melakukan kebaktian di dalam masjid dengan menghadap ke arah timur, seperti umat Islam melakukan kebalikannya.
Saat itu Rasulullah tidak membedabedakan tamu berdasarkan kelas dan status sosial. Suatu ketika Rasulullah menerima seorang tamu laki-laki Arab pegunungan, kira-kira semiprimitif.
Tiba-tiba tamu ini beranjak ke sudut masjid lalu kencing berdiri di situ. Terang saja para sahabat marah dan bermaksud memukulnya. Akan tetapi, Rasulullah menahannya dan memerintahkan agar kencingnya ditimbun dengan pasir.
Bahkan pernah suatu ketika Rasulullah menerima tamu tak diundang, seorang yang sudah lama dicari-cari masyarakat karena terkenal sebagai tukang onar. Salah seorang sahabat menghunus pedang untuk membunuh orang tersebut, tapi ditahan oleh Rasulullah dan mengatakan, "Biarkan dan dengarkan apa maksud kedatangannya di sini."
Sang tamu menyadari kalau dirinya itu seorang penjahat dan telah melakukan berbagai macam dosa dan maksiat. Ia menjelaskan tujuannya datang menjumpai Rasulullah, siapa tahu pada masa lalunya pernah mengerjakan suatu kebaikan ia akan menghibahkan kebaikan itu kepada orang yang ditunjuk Rasulullah.
Semua sahabat yang hadir di masjid tertegun mendengarkan penjelasan itu. Akhirnya kasus ini menyebabkan turunnya QS Hud ayat 114:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ "Innal hasanat yudzhibna al-sayyi'at (Sesungguhnya amal kebajikan itu menghapuskan dosadosa/perbuatan buruk)."
Dalam kasus lain, ketika Rasulullah SAW sedang melayani tamu dari pembesar Quraisy, tiba-tiba datang tamu lain yang kebetulan buta (Abdullah bin Ummi Maktum) lalu Rasulullah berpaling dari padanya demi menghargai pembesar Quraisy. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya QS Abasa 1-2:
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ "Abasa watawalla, 'an jaahul a'ma (Dia bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya)."
Betapa mulia dan agungnya pribadi Rasulullah terhadap tamu. Kita sebagai umatnya selayaknya mencontoh etika dan pribadi Rasulullah terhadap tamu.