Selasa 21 Sep 2021 19:31 WIB

Nasib Pegawai KPK: Dipecat dengan Hormat Tapi tanpa Pesangon

Giri menyebut puluhan pegawai yang dipecat saat ini dicampakkan seperti sampah.

Red: Andri Saubani
Pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bersama Solidaritas Masyarakat Sipil menggelar aksi sekaligus mendirikan Kantor Darurat Pemberantasan Korupsi di depan Gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (21/9). Kantor darurat yang didirikan solidaritas masyarakat sipil tersebut sebagai bentuk kekecewaan atas kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia sekaligus mengadvokasi kepada 56 pegawai KPK yang tidak lulus TWK saat proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Republika/Thoudy Badai
Foto:

Dalam diskusi publik daring bertajuk 'Akhir Nasib Pemberantasan Korupsi?', Ahad (19/9) lalu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, pimpinan KPK saat ini ialah operator lapangan. Menurut dia, sejak awal persoalan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK mencuat, Firli Bahuri dkk memiliki niat mengeluarkan para pegawai KPK yang kritis terhadap pemberantasan korupsi.

"Firli Bahuri dan kawan-kawan adalah operator lapangan, mengapa? Karena setidak-tidaknya yang terbuka kepada publik niat untuk menghabisi kawan-kawan yang kritis di dalam dan setiap ada pemberantasan korupsi sudah ada pada September 2019," ujar Asfinawati.

Dia juga menyebutkan, sikap itu juga terjadi beriringan dengan revisi Undang-Undang tentang KPK. Muncul pula pada saat itu secara terbuka mengenai taliban.

Menurut Asfinawati, hal-hal demikian menunjukkan adanya skenario besar di balik kisruh TWK KPK. Bahkan, dugaan ini sudah bermula sejak pemilihan panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK yang dinilai koalisi masyarakat sipil diwarnai permasalahan berujung pelemahan pemberantasan korupsi.

"Hasil dari pansel diterima bulat-bulat oleh Pak Presiden diserahkan kepada DPR dan tentu saja digolkan oleh DPR. Jadi ini adalah sebuah rangkaian yang sudah kita prediksi," kata dia.

Dia melanjutkan, akibat dari skenario ini bukan saja pemecatan terhadap para pegawai KPK melalui proses TWK. Pimpinan KPK sekarang ini justru berhasil menurunkan indeks persepsi korupsi 2020 sebanyak tiga poin, menempatkan Indonesia di bawah Timor Leste sebagai negara yang baru merdeka.

Selain itu, kata Asfinawati, Pimpinan KPK saat ini pun berhasil menurunkan jumlah penyelidikan. Berdasarkan data KPK, jumlah penyelidikan pada 2018 sebanyak 164, turun pada 2019 menjadi 142, turun lagi pada 2020 menjadi 111, dan sepanjang 2021 baru ada 41 penyelidikan.

"Sudah terjadi penurunan yang signifikan penyelidikan dan ini tampaknya yang memang diinginkan, belum lagi kasus-kasus misalnya mantan calon legislatif itu bisa buron dan tidak ketemu sampai sekarang. Padahal Ketua DPR Setnov (Setya Novanto) dan ketua partai bisa ditangkap oleh KPK di periode sebelumnya," jelas Asfinawati.

Dalam diskusi yang sama, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menyoroti waktu pemecatan pegawai KPK yang bakal dilakukan pada 30 September 2021.

"Kenapa kok yang dipilih 30 S padahal sebelumnya dikatakan bahwa sampai November," ujar Choirul Anam.

Dia ingin melontarkan pertanyaan tersebut kepada KPK jika diberikan kesempatan. Sebab, sebelumnya Komnas HAM menanyakan kepada KPK mengenai dipilihnya 1 Juni 2021 untuk pelantikan pegawai KPK yang beralih status menjadi ASN.

KPK pun membenarkan dipilihnya 1 Juni 2021 karena ada isu atau stigma mengenai taliban. Padahal, menurut Choirul, introduksi stigma apalagi secara terbuka seperti ini sangat berbahaya.

Dia pun mengatakan, pemilihan 30 September untuk memecat 56 pegawai KPK dapat menimbulkan imajinasi serta stigma bagi pegawai KPK yang dipecat. Sebab, waktu ini berkaitan dengan G30S atau Gerakan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965 yang diperingati setiap 30 September.

"Apakah memang pemilihan tanggal 30 September ini mengintrodusir satu stigma berikutnya, kalau ini memang mengintrodusir satu stigma berikutnya, betapa bahayanya negara ini," kata dia.

Selain itu, dia mengatakan, alasan lain Komnas HAM menyampaikan rekomendasi mengenai TWK KPK kepada presiden pun, untuk menjawab terkait dipilihnya 30 September tersebut. Dalam catatan Komnas HAM, berbagai kejahatan, tindakan kekerasan, perampasan harta benda, merendahkan martabat orang, dan lainnya banyak lahir dari stigma.

"Seandainya ini dengan sengaja membangunkan imajinasi bahwa tanggal 30 ada sebuah peristiwa dan itu identik dengan PKI misalnya, betapa mesin stigma itu menjadi sesuatu yang sangat berbahaya di negeri ini," tutur Choirul.

photo
Ombudsman RI telah menyampaikan hasil pemeriksaan terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement