REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Para pemimpin dunia akan kembali mengikuti sidang tahunan Majelis Umum PBB untuk pertama kalinya dalam dua tahun pada Selasa (21/9). Sejumlah isu mendesak seperti penanganan pandemi dan perubahan iklim menanti untuk dibahas pada kesempatan tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bakal membuka sidang. “Dia (Guterres) akan memberikan visi untuk menjembatani berbagai perpecahan yang menghalangi kemajuan,” kata juru bicara PBB Stephane Dujarric.
Karena ini merupakan sidang tatap muka pertama dalam dua tahun, hambatan utama menjelang pertemuan adalah persyaratan bebas Covid-19 bagi para pemimpin yang hendak masuk ke Amerika Serikat (AS). Markas PBB berada di New York. Markas PBB pun menerapkan aturan cukup ketat. Siapa pun yang memasuki kompleksnya harus membuktikan tak memiliki gejala Covid-19 dan belum dites positif dalam sepuluh hari terakhir.
Secara tradisi, negara pertama yang akan menyampaikan pandangannya dalam sidang adalah Brasil. Presidennya, yakni Jair Bolsonaro, diketahui menolak divaksinasi. Baru-baru ini, Bolsonaro menyampaikan bahwa dia tak berencana menerima vaksin Covid-19 dalam waktu dekat. Dia berdalih, karena telah terinfeksi, tubuhnya memiliki antibodi tinggi.
Tiga pembicara yang bakal mendapat sorotan dalam sidang Majelis Umum PBB adalah Presiden AS Joe Biden, Presiden China Xi Jinping, dan Presiden Iran Ebrahim Raisi. Sebelumnya, Guterres sempat mendorong AS memperbaiki hubungannya dengan China. Menurutnya, relasi yang "tak berfungsi" antara kedua negara berpotensi memantik Perang Dingin baru.
Guterres mengungkapkan kerja sama China dan AS dibutuhkan dalam menangani perubahan iklim dan isu global lainnya. Beijing dan Washington pun dinilai perlu bernegosiasi lebih kuat di bidang perdagangan, teknologi, keamanan siber, termasuk HAM.
"Sayangnya, hari ini kita hanya memiliki konfrontasi. Kita perlu membangun kembali hubungan fungsional antara kedua kekuatan," ujar Guterres saat diwawancara Associated Press akhir pekan lalu.
Menurut Guterres, tantangan global yang kini sedang dihadapi seperti vaksinasi Covid-19, perubahan iklim, dan lainnya, tak dapat diselesaikan tanpa hubungan konstruktif di dunia internasional. "Terutama di antara negara adidaya," ucapnya.