REPUBLIKA.CO.ID, Orang Indonesia tidak pandai mengekspresikan perasaan sayangnya. Benarkah?
Sebuah riset yang dilakukan lembaga psikologi di Jakarta menyebutkan, 63% orang Indonesia sulit mengungkapkan perasaannya.
Sebanyak 45% di antaranya memilih tidak mengungkapkan perasaan cintanya. Sekalipun 78% menjawab, mengungkapan rasa sayang secara verbal sangat diperlukan.
Apa pasal? Dalam bahasa psikologi ada yang diistilahkan sebagai high context, yakni sesuatu bersandar pada konteks. Ungkapan-ungkapan secara verbal dianggap tidak perlu, lantaran perasaan cinta sudah dituang dalam bentuk perbuatan dan perilaku.
Cinta bukan semata urusan suami dengan istri. Namun juga hubungan indah orangtua dengan anak dan hubungan antar saudara.
Orangtua yang sering mengungkapkan perasaan sayangnya pada anak akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi dengan secure feeling alias memiliki rasa aman. Ia percaya di luar sana banyak orang baik dan dunia adalah tempat yang aman untuk ditinggali.
Begitupun orangtua, apalagi seorang ibu, akan terpenuhi kebutuhan emosional atau psikologisnya bilamana mendapat ungkapan kasih sayang secara verbal dari suami, anak-anak, dan keluarga. Ia akan merasa bahagia, diinginkan, dibutuhkan dan sebagainya.
Namun kalau lidah terasa kelu untuk mengatakannya, salah tingkah, muncul rasa malu yang mendominasi, apa yang harus dilakukan?
Jawabannya hanya satu: banyak latihan. Biasakan untuk menyapa orang terdekat dengan panggilan sayang, mengatakan betapa berharganya mereka, memberikan apresiasi serta pujian.
Bahasan tentang cinta memang bukan soalan sederhana. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya “Ad Daa' Wa Ad Dawaa” menyebutkan bahwa cinta adalah perbuatan hati yang akan terwujud dalam bentuk amalan.
Ia membagi cinta dalam 5 tingkatan, yakni Maḥabbahtullah (Cinta kepada Allah), Maḥabbah ma yuhibbullah (Cinta karena sesuatu yang dicintai Allah), al-Ḥubb lillāh wa fīllāh (Cinta untuk Allah dan karena Allah), al-Maḥabbah ma’allāh (Cinta terhadap hal-hal lain yang bersamaan dengan cinta kepada Allah), ini adalah cinta yang disekutukan, dan juga al-Maḥabbah al-Tabi’iyah (cinta yang selaras dengan tabiat).
Cinta harusnya tak melenakan. Setiap yang bergerak, dasar yang menggerakkannya adalah cinta dan kemauan. Semua yang wujud tidak akan harmonis, kecuali bila digerakkan oleh rasa cinta.
Maka ia pun menuliskan syairnya,
Bisikan cinta bukanlah sekadar bisikan
Tiada yang tahu apa yang telah dikabarkan
Urusan cinta tiada tuntas dengan penalaran
Tak juga selesai dengan analogi dan pikiran
Urusan cinta berkaitan dengan lintasan hati
Urusan demi urusan datang silih berganti.
Sudahkah mengungkapkan rasa cinta pada pada mereka yang berhak memilikinya hari ini? Jangan ragu untuk melakukannya. Kalau belum terbiasa, mari kita mulai dengan mengejanya.