REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Di antara dampak maksiat adalah memberikan pengaruh khusus bagi akal. Dikutip dari buku Ad-Daa wad Dawaa karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Jika ada dua orang berakal, salah satunya taat kepada Allah sementara yang lainnya pelaku maksiat, maka akal orang yang taat lebih sempurna, pikirannya lebih benar, pendapatnya lebih lurus, dan kebenaran selalu menjadi pendampingnya.
Oleh sebab itu, seruan Alquran senantiasa disandingkan dengan para pemilik akal dan pikiran, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَاتَّقُوۡنِ يٰٓاُولِى الۡاَلۡبَابِ
"... Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat." (QS. Al-Baqarah ayat 197).
فَاتَّقُوا اللّٰهَ يٰۤاُولِى الۡاَ لۡبَابِ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ
"... Maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung." (QS. Al-Maidah ayat 100)
وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ
"... Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat." (QS. Al-Baqarah ayat 269)
Sebenarnya masih banyak ayat lain yang semisal dengan ayat yang disebutkan di atas.
Bagaimana mungkin menjadi sempurna akal seseorang yang mendurhakai Allah, padahal jiwanya berada dalam genggaman-Nya dan dia hidup di bumi-Nya?
Lagi pula, orang yang berakal pasti mengetahui bahwa dia dilihat dan diawasi oleh Dzat Yang Mahakuasa. Akan tetapi, orang itu malah mendurhakai-Nya walau keberadaannya tidak tersembunyi dari pandangan-Nya. Ia menggunakan nikmat-nikmat-Nya untuk setiap perkara yang dimurkai-Nya. Setiap saat dia menyebabkan kemarahan, laknat, dan kejauhan-Nya sebagai ganti kedekatan-Nya, terusirnya dari pintu-Nya, keberpalingan-Nya, dan kehinaan di hadapan-Nya, serta dibiarkannya sendirian antara dirinya dengan musuhnya, hina dalam pandangan-Nya, tercegah dari nikmat ridha dan cinta-Nya, serta kesejukan mata dengan kedekatan-Nya, juga hilangnya keberuntungan berada di samping-Nya dan memandang wajah-Nya bersama para wali-Nya.
Kebalikan dari yang disebutkan ini, yaitu orang-orang yang taat akan mendapat ganjaran berkali-kali lipat, sebagaimana hukuman yang ditimpakan atas para pelaku maksiat.
Maka dari itu, di manakah akal seseorang yang mendahulukan kelezatan sesaat, sehari, atau beberapa waktu saja. Lalu usai begitu saja, seolah-olah mimpi yang tidak pernah terwujud, jika dibandingkan dengan kenikmatan yang kekal dan kemenangan yang agung?
Sungguh, nikmat ketaatan merupakan puncak kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
Sekiranya yang dimaksud adalah akal yang dengannya hujjah itu tegak, tentulah kedudukan pelaku maksiat seperti halnya orang gila. Bahkan, bisa jadi kondisi orang gila itu lebih baik dan lebih selamat daripada pelaku maksiat apabila ditinjau dari sisi ini.