REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz Ad-Dimsyaqi Al-Hanafi atau lebih dikenal Ibnu Abidin merupakan ulama yang memiliki perhatian pada ilmu agama dan ekonomi. Ulama asal Damaskus ini cukup produktif melahirkan banyak buku dan menyampaikan padangannya tentang uang.
Cecep Maskanul Hakim dalam buku Belajar Mudah Ekonomi Islam menyebutkan, Ibnu Abidin lahir pada tahun 1194 Hijriyah dan wafat pada 1252 Hijriyah. Dia tumbuh di bawah pemeliharaan sang ayah yang merupakan seorang pedagang. Dia mana dia memanfaatkan perdagangan untuk mencari ilmu pengetahuan.
Ibnu Abidin mulai mengarang buku sejak usia 17 tahun dan menghasilkan 40 kitab sepanjang hayatnya. Bahkan dia menjadi ulama rujukan fatwa di Damaskus. Ibnu Abidin merupakan ulama yang telah menghafal Alquran sewaktu dirinya masih kecil.
Dalam hal ekonomi, Ibnu Abidin kerap menuliskan tentang perdagangan dan juga konsep uang di dalam karya-karyanya. Keterlibatan Ibnu Abidin dalam masalah uang terlihat ketika ia menulis salah satu masalah dalam bukunya tentang jual-beli dengan uang. Yang kasus tersebut dituliskan ke dalam bukunya, “Apabila seseorang membeli baju dengan beberapa dirham tunai untuk suatu negeri, tapi tidak ditunaikannya sampai berubah baju tersebut maka ada dua hukum yang berlaku,”.
Dua hukum tersebut menurut Ibnu Abidin antara lain:
Pertama, apabila dirham tidak beredar pada hari itu di pasar, maka jual-beli tidak sah karena menghancurkan harga.
Kedua, apabila dirhamnya masih beredar tetapi berkurang nilainya, maka akad tersebut tidak rusak. Sebab tidak memengaruhi harga dan tidak ada piihan selain dirham. Apabila terputus, tidak mampu mencarinya, maka itu jadi utang pada saat terputus dari emas dan perak. Itulah pendapat yang terpilih.
Pada permasalahan tidak beredarnya dirham yang menyebabkan akadnya rusak apabila tidak beredar di semua negeri, sebab pada saat itu barang dagangan terbiar tanpa harga. Apabila dirham tidak beredar di negeri ini saja, maka akad tidak menjadi rusak.
Penjual memiliki pilihan apakah ia mau berkata, ‘Berikan padaku seperti yang terjadi pada jual-beli,’. Apabila dia mau, maka ia bisa mengambil dengan harga dinar-dinar tersebut. Sebab apabila ia membeli dengan banyak dirham yang palsu atau uang yang bermanfaat, maka jual-beli tidak dibolehkan.
Cecep Maskanul menjelaskan bahwa dua kasus tersebut sebetulnya muncul dari masalah moneter yang terjadi sekitar abad ke-16-17 Masehi. Yakni ketika dampak perubahan mata uang dari dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak) kepada fulus (mata uang tembaga) pada abad ke-14 (zaman Ibnu Khaldun dan Al-Maqrizi) masih mendominasi masalah fikih.
Mata uang yang berlaku pada zaman itu adalah mata uang yang telah mengalami perubahan dalam bentuk sejak zaman Rasulullah SAW. Sebagaimana diketahui bahwa uang emas dan perak di masa Rasulullah SAW dicetak dari masa Romawi dan Persia dengan menggunakan ukuran yang berat. Sedangkan sejak masa Dinasti Umawiyah, dibuat perubahan dalam bentuk dan tulisan tapi tetap menggunakan standar berat.
Masalah fikih yang dapat disimpulkan dari kasus yang ditulis Ibnu Abidin tentang uang adalah perubahan uang (di dalamnya ada keterputusan atau tidaknya, naik-turunnya ketika muamalah tunai dilakukan) dan penipuan dalam uang.
Perubahan dalam mata uang disebutkan Ibnu Abidin dalam tiga hal. Yakni kondisi yang rusak, kondisi keterputusan, dan kondisi bertambah atau berkurangnya nilai uang. Apabila bertambah nilainya, maka barang yang dibeli tetap pada kondisi penjual, dan tidak ada pilihan bagi pembeli kecuali menerimanya. Istilah untuk kondisi ini pada zaman modern adalah deflasi.