REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pertempuran antara kelompok milisi dan tentara Myanmar memicu eksodus ribuan penduduk kota Thantlang di Negara Bagian Chin, dekat perbatasan India. Mereka meninggalkan kota berpenduduk sekitar 10.000 jiwa itu setelah banyak bangunan terbakar selama pertempuran, kata penduduk setempat dan sejumlah media, Rabu (22/9).
Sebagian besar penduduk pergi mencari perlindungan ke wilayah sekitar, termasuk beberapa daerah di India. Myanmar jatuh ke dalam krisis sejak pemerintah pimpinan Aung San Suu Kyi digulingkan lewat kudeta militer pada 1 Februari.
Kudeta itu menyulut kemarahan, protes, dan kemunculan milisi anti junta di seluruh Myanmar. Dalam pertempuran antara pasukan militan dan tentara pekan lalu, sekitar 20 rumah dilalap api.
Foto-foto bangunan yang terbakar beredar di media sosial. Tentara menembak mati seorang pastor yang mencoba memadamkan api, portal berita Myanmar Now melaporkan.Media pemerintah menyangkal kabar itu.
Harian Global New Light of Myanmar mengatakan kematian pastor tersebut sedang diselidiki.Para tentara disergap oleh sekitar 100 "teroris" dan kedua pihak saling menembak, kata surat kabar tersebut.
"Kelompok milisi sebelumnya menyerbu sebuah markas militer pada September dan tentara membalasnya dengan serangan udara," kata Salai Thang, seorang tokoh masyarakat.
Dia menambahkan bahwa empat warga sipil tewas dan 15 lainnya terluka dalam beberapa pekan terakhir. Pasukan Pertahanan Chin, kelompok milisi anti militer, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa sudah ada 30 tentara yang terbunuh.
Reuters tidak dapat mengonfirmasi klaim tersebut dan juru bicara militer belum merespons permintaan untuk berkomentar. Seorang kerabat pastor yang tewas mengatakan sebagian besar orang telah meninggalkan kota itu.
Sejumlah keluarga masih bertahan, termasuk 20 anak-anak di panti asuhan yang dikelola sang pastor."Pembunuhan seorang pendeta Baptis dan pengeboman rumah di Thantang, Negara Bagian Chin, adalah contoh terbaru 'neraka hidup' yang ditimbulkansetiap hari oleh junta terhadap rakyat Myanmar," kata Thomas Andrews, pelapor khusus PBB untuk urusan HAM di Myanmar, lewat Twitter pekan lalu.
Pertumpahan darah meningkat di sejumlah wilayah seperti Chin setelah Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintah bayangan Myanmar, mendeklarasikan pemberontakan pada 7 September. Mereka juga menyerukan kelompok milisi baru yang dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) untuk mengincar junta dan aset-asetnya.
Bentrok antara PDF dan tentara bersenjata lengkap kerap membuat pihak sipil terjebak di tengah pertempuran dan terpaksa mengungsi.