REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyoroti laporan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) terhadap aktivis Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ke Polda Metro Jaya. Ia melihat laporan Luhut dalam dua dimensi.
"Tanggapan kami soal pelaporan ini pertama kami melihatnya dengan dua dimensi yaitu siapa yang mengadukan, melaporkan, dan siapa yang dilaporkan," kata Asnawi dalam konferensi pers secara daring, Rabu (22/9).
Menurut Asfina, dari pihak pelapor adalah pejabat publik, maka pejabat publik terikat pada etika dan kewajiban hukum. Artinya, pejabat publik harus bisa dikritik. Sebab, jika tidak bisa dikritik maka tidak ada ada suara rakyat dalam berjalannya negara, begitu suara rakyat tidak ada, maka tidak ada demokrasi.
"Kalau dengar LBP kemudian atau kuasa hukumnya mengatakan bahwa kami adalah individu yang memiliki hak, tetapi yang dikritik oleh Fatia justru LBP sebagai pejabat publik," tegas Asfina.
Bagaimanapun juga, kata Asfina, Fatia mengkritik Luhut bukan dalam kapasitasnya sebagai individu tetapi mewakili Koordinator KontraS. Kemudian jika mengacu pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan merujuk KUHP adalah perorangan. Sementara Fatia tidak bertindak atas tindakannya sendiri tetapi sebagai mandat organisasi.
"Kita harus berterima kasih kepada Fatia dan Haris Azhar karena membawa kepentingan publik menyuarakannya sehingga publik tahu dan justru ada hal-hal yang harus dijawab," tutur Asfina.
Asfina juga menilai apa yang dialami Haris dan Fatia saat ini merupakan ciri-ciri negara otoriter. Ia memberikan contoh terkait somasi. Harusnya yang melakukan somasi adalah masyarakat kepada pejabat publik. Sementara dalam perkara ini, kata dia, terbalik, justru aparat pemerintah mengawasi rakyat. "Bahkan mengkriminalisasi rakyat itu adalah ciri-ciri negara otoriter," keluh Asfina.