REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian di sela-sela sidang Majelis Umum PBB pada Selasa (21/9). Itu merupakan pertemuan perdana mereka.
Pertemuan itu dijadwalkan tanpa adanya partisipasi para menteri luar negeri para pihak dalam kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). “Menteri Luar Negeri Iran meyakinkan kesediaan melanjutkan negosiasi lebih awal. Perwakilan Tinggi Borrell menggarisbawahi sekali lagi pentingnya dimulainya kembali pembicaraan Wina dengan cepat,” kata Uni Eropa dalam sebuah pernyataan.
Sebelumnya juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan, delegasi negaranya mungkin akan menggelar pembicaraan tentang pemulihan JCPOA dengan negara kekuatan dunia di sela-sela sidang Majelis Umum PBB. Dia mengungkapkan, Amirabdollahian diagendakan bertemu perwakilan dengan negara-negara anggota JCPOA. “Jika pertemuan seperti itu akan berguna,” kata Khatibzadeh dikutip laman BNN Bloomberg, Ahad (19/9).
Kendati demikian, menurut Khatibzadeh, Amirabdollahian tidak memiliki rencana bertemu dengan pejabat-pejabat Amerika Serikat (AS). Namun dia bakal melakukan pertemuan terpisah dengan para menteri luar negeri dari negara-negara anggota JCPOA.
Saat ini Iran dan AS masih terlibat dalam pembicaraan pemulihan JCPOA. Namun pembicaraan yang sudah berlangsung beberapa putaran di Wina, Austria, itu tengah terhenti. Hal itu karena Iran memiliki presiden baru, yakni Ebrahim Raisi.
JCPOA disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta China. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.
Namun JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran.