REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Presiden Joko Widodo segera mengambil sikap terkait polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keputusan kepala negara terkait polemik TWK merupakan amanah putusan Mahkamah Agung (MA).
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, putusan MA secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa tindak lanjut dari hasil asesmen TWK menjadi kewenangan pemerintah. Artinya, dia mengatakan, presiden menjadi pihak yang paling tepat untuk menyikapi polemik TWK KPK.
"Maka dari itu, tindakan pimpinan KPK yang memutuskan pemberhentian pegawai pada akhir September nanti tidak berdasar," kata Kurnia Ramadhana dalam keterangan, Kamis (23/9).
Kurnia mengatakan, putusan Mahkamah konstitusi (MK) juga mengamanatkan agar proses pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh merugikan hak-hak pegawai. Dia mengungkapkan, pemecatan pegawai yang dilakukan pimpinan KPK telah melenceng dan mengabaikan putusan MK.
"Untuk itu, Presiden harus mengoreksi kebijakan pimpinan KPK tersebut," katanya.
Dia melanjutkan, presiden juga telah mendapatkan rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM tentang kecacatan proses administrasi dan pelanggaran HAM dalam TWK. Dia mengatakan, rekomendasi dua lembaga tersebut bermuara pada tindakan Presiden Jokowi.
Baca juga : Amnesty Menilai Pelaporan Luhut Memperburuk Citra Pemerintah
Dia mengingatkan, pasal 3 PP Nomor 17 Tahun 2020 secara tegas menyebutkan bahwa presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS. Artinya, sambung dia, rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM dapat menjadi landasan bagi presiden untuk mengambil kewenangan kesekretariatan jendral KPK.
Kurnia mengatakan, pengambilan tindakan yang objektif dari presiden juga merupakan janji politik di mana Jokowi saat itu berikrar untuk memperkuat KPK. ICW menilai, hingga saat ini janji tersebut belum pernah terjadi.
Dia melanjutkan, presiden selaku pihak eksekutif merupakan atasan KPK berdasarkan perubahan UU Nomor 19 Tahun 2019. Dia mengatakan, segala persoalan yang berkaitan dengan ranah administrasi mewajibkan presiden untuk bertindak.
"Polemik TWK berada dalam ranah administrasi kepegawaian. Jadi, tidak salah jika kemudian masyarakat mendesak agar presiden segera mengeluarkan sikap untuk menyelesaikan permasalahan di tubuh KPK," katanya.
Lebih lanjut, dia menilai, pengambilalihan polemik TWK oleh presiden akan menghentikan kontroversi pimpinan KPK. Dia menilai, presiden tentu memahami bahwa lembaga antirasuah kini berada di ambang kehancuran akibat tindakan pimpinan yang kerap menimbulkan kontroversi dan minim prestasi.
"Sebagai pihak yang memilih pimpinan KPK, presiden punya tanggung jawab untuk mencegah praktik kesewenang-wenangan mereka," katanya.
Seperti diketahui, KPK resmi memecat 57 pegawai yang dinilai tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan TWK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021 nanti.
TWK merupakan proses alih pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi polemik lantaran dinilai sebagai upaya penyingkiran pegawai berintegritas. Ombudsman juga telah menemukan banyak kecacatan administrasi serta didapati sejumlah pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.
Meski demikian, dalam pernyataan pers terkait pemberhentian pegawai itu, KPK tidak menyebut pertimbangan Ombudsman dan Komnas HAM. Pimpinan KPK hanya berpegang serta menyinggung putusan MA dan MK yang menyatakan pelaksanaan TWK sah.
Baca juga : Bupati: Buruh Rokok Penerima BLT Harus Lolos Verifikasi