REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Komandan militer oposisi Libya Khalifa Haftar membuka jalan untuk terlibat dalam pemilihan presiden bulan Desember mendatang setelah ia mengatakan akan mundur dari peran militernya selama tiga bulan.
Dalam pernyataannya Rabu (22/9) kemarin, Haftar mengatakan ia akan menunjuk penggantinya sementara sebagai kepala Tentara Nasional Libya (LNA) yang ia pimpin sampai 24 Desember sebelum pemilihan presiden dan legislatif.
Haftar memimpin LNA yang berbasis di timur Libya dan berperang melawan faksi barat setelah pemerintahan Libya pecah pada 2014. Ia menggelar serangan selama 14 bulan untuk merebut Tripoli tapi gagal dan akhirnya menghancurkan ibu kota tersebut.
Aljazirah melaporkan media-media Libya mengatakan Haftar akan maju dalam pemilihan presiden. Pemilihan yang dijalankan dengan undang-undang baru yang kontroversial itu bertujuan mengakhiri krisis Libya.
Namun perdebatan mengenai legitimasi menunjukkan proses perdamaian mungkin berlangsung selama berbulan-bulan. Pemilihan itu dimandatkan Forum Dialog Politik Libya (LPDF) tahun lalu. Lembaga yang dibentuk PBB itu untuk menetapkan rencana perdamaian di Libya. Diharapkan forum tersebut dapat mendirikan pemerintahan yang bersatu dan menggelar pemilihan umum.
Namun, walaupun pada bulan Maret lalu parlemen pemerintahan timur setuju menyatukan pemerintahan, elemen-elemen penting dari rencana itu mengalami kebuntuan dan parlemen tersebut mengatakan akan menarik dukungannya dari Perdana Menteri Abdelhamid Dbeibah. Pada awal bulan ini, ketua parlemen Aguila Saleh menyetujui undang-undang pemilihan presiden yang menurut para pengamat memiliki pasal-pasal kontroversial. Undang-undang itu membuat Saleh dan Haftar dapat maju dalam pemilihan tanpa risiko kehilangan jabatan mereka yang sekarang.
Pemungutan suara undang-undang tersebut hanya dihadiri sekelompok anggota parlemen. Dalam undang-undang itu disebutkan pejabat dapat mundur selama tiga belum sebelum pemilihan dan kembali menjabat bila tidak menang.
Parlemen tidak memberikan suara pada versi final undang-undang tersebut. Parlemen yang dipilih pada 2014 dan langsung terpecah menjadi berbagai faksi belum menyetujui undang-undang untuk memisahkan pemilihan parlemen sesuai dengan mandat forum dialog PBB.
Badan penasihat pemerintahan yang bermarkas di Tripoli, Dewan Tertinggi Negara menolak undang-undang parlemen. Sehingga, ada kemungkinan pemungutan suara mengenai undang-undang itu dinyatakan ilegal.