REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Pengajuan Taiwan untuk bergabung dengan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP) menjadi berisiko jika China bergabung terlebih dahulu. Hal itu diungkap kepala negosiator perdagangan Taiwan John Deng pada Kamis (23/9).
Taiwan secara resmi mendaftarkan diri untuk bergabung pada Rabu (22/9), kurang dari seminggu setelah China, yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia, menyampaikan pengajuannya. Taiwan dikeluarkan dari banyak badan internasional karena desakan China bahwa Taiwan adalah bagian dari "satu China" dan bukan negara yang terpisah.
Deng mengatakan kepada wartawan bahwa China selalu berusaha menghalangi partisipasi Taiwan secara internasional. Namun, dia menekankan bahwa tidak ada hubungan langsung antara pengajuan China yang disampaikan pekan lalu dengan pengajuan Taiwan. Deng menambahkan bahwa Taiwan telah mengajukan permohonan untuk bergabung dengan nama yang digunakannya di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yakni Wilayah Pabean Terpisah Taiwan, Penghu, Kinmen dan Matsu.
Taiwan, produsen utama semikonduktor, adalah anggota WTO dan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Deng mengatakan dia tidak dapat memprediksi kapan Taiwan akan diizinkan untuk bergabung dengan CPTPP. Perjanjian tersebut, yang dimulai dengan 12 anggota awal dan sebelumnya dikenal sebagai Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), dipandang sebagai alat penyeimbang ekonomi yang penting terhadap pengaruh China yang semakin besar. Namun, TPP berada dalam ketidakpastian pada awal 2017 ketika Amerika Serikat yang saat itu dipimpin Presiden Donald Trump mengundurkan diri dari TPP.
Kemitraan itu, yang kemudian berganti nama menjadi CPTPP, menghubungkan Kanada, Australia, Brunei, Chile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura dan Vietnam.