REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH – Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz menegaskan dukungan negaranya bagi kemerdekaan Palestina. Hal itu tersisip dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB ke-76, Rabu (22/9).
“Kami menegaskan perdamaian adalah pilihan strategis untuk kawasan Timur Tengah, melalui solusi yang adil dan langgeng untuk masalah Palestina berdasarkan resolusi legitimasi internasional serta Inisiatif Perdamaian Arab, dengan cara yang menjamin hak rakyat Palestina untuk mendirikan negara merdeka mereka di perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya,” kata Raja Salman dalam pidatonya, dikutip laman Al Arabiya.
Sebelumnya, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani turut menyuarakan dukungan untuk Palestina. Dia secara gamblang mengkritik serangkaian pelanggaran yang terus dilakukan Israel di wilayah pendudukan. “Tahun ini telah menyaksikan banyak pelanggaran Israel di Yerusalem Timur yang diduduki dan terulangnya serangan terhadap tempat-tempat suci Islam dan Kristen, terutama Masjid Al Aqsa selama bulan suci Ramadhan, serta penyitaan rumah-rumah warga Palestina dalam konteks Yudaisasi dan kebijakan permukiman,” kata Sheikh Tamim pada Selasa (21/9), dikutip Times of Israel.
Dia pun menyoroti eskalasi militer di Jalur Gaza yang dipicu ketegangan di Yerusalem pada Mei lalu. Sheikh Tamim mengatakan, agresi Israel ke Gaza telah menyebabkan ratusan warga sipil tewas. “Hal itu memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah mengerikan di Jalur Gaza,” ucapnya.
Sheikh Tamim menekankan, masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk menengahi penyelesaian konflik Israel-Palestina secara komprehensif, adil, dan damai. Terkait hal itu, ia menegaskan dukungan Qatar bagi berdirinya negara Palestina.
Pekan lalu, Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz mengisyaratkan bahwa negaranya menolak pembentukan negara Palestina dengan garis perbatasan 1967. Dia mengatakan Israel tidak akan menghapus atau membongkar satu pun permukiman Yahudi yang telah dibangun di wilayah Tepi Barat. Tel Aviv bakal mempertahankan permukimannya dalam jangka panjang.
“(Presiden Palestina Mahmoud) Abbas masih memimpikan garis tahun 1967 (sebagai dasar penarikan Israel dari Tepi Barat dan mengakhiri konflik), ini tidak akan terjadi,” kata Gantz saat diwawancara Foreign Policy dan dipublikasikan pada Rabu (15/9).
Gantz menekankan, Abbas harus menyadari bahwa kini rakyat Israel tinggal di Tepi Barat. “Kami tidak menghancurkan permukiman,” ucapnya.