REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehidupan umat Muslim di negara-negara non-Muslim menemui banyak problem fikih, seperti sulitnya melaksanakan sholat Jumat, pengajian, dan akses pendidikan agama untuk anak-anak. Lantas bagaimana hukum bagi Muslim bermigrasi ke negara non-Muslim?
KH Nasaruddin Umar dalam buku Geliat Islam di Negeri non-Muslim menjelaskan dalam Islam tidak ada larangan tegas bagi seorang Muslim untuk bermigrasi ke negara-negara non-Muslim. Yang penting ada jaminan bisa menjalankan ajaran Islam di sana.
Masalah justru muncul jika di sana akan mereduksi keyakinan hidup umat Islam. Hal ini berdasarkan dalil dalam Alquran Surah Al-Ankabut ayat 56, Allah berfirman, “Ya-ibadiy alladzina aamanu inna ardhi waasi’atun fa-iyyaya fa’buduniy,”. Yang artinya, “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja,”.
Dijelaskan pula Rasulullah SAW juga pernah memberikan respons terhadap umatnya di Makkah yang mengalami tekanan dari kaum kafir Quraisy dengan mengatakan, “Sesungguhnya di negeri Habasyah ada seorang raja yang sama sekali tidak akan menzalimi seorang pun. Datanglah ke negara itu sampai Allah SWT memberikan jalan keluar dari apa yang kalian alami,”.
Kiai Nasaruddin mengutip pandangan Ibnu Katsir yang menyebutkan bermigrasi ke negeri non-Muslim hukumnya memang dibolehkan. Ibnu Hazm berpendapat seorang Muslim boleh bermigrasi ke negeri non-Muslim jika di dalam negerinya mendapati ancaman. Baik dari tekanan pemerintah maupun tekanan krisis ekonomi yang mengancam hidup mereka.
Kebolehan ini dengan catatan sepanjang jaminan keselamatan dan keamanan, termasuk jaminan menjalankan kehidupan dan menjalankan ajaran agama di sana. Akan tetapi apabila di sana justru akan menimbulkan kemudharatan, baik secara personal maupun akidah dan kepercayaan, apalagi dia akan dimanfaatkan untuk membongkar rahasia negerinya sendiri, maka itu hukumnya haram.