Kamis 23 Sep 2021 22:04 WIB

35 Persen Gangguan Kesuburan Disebabkan Faktor Sperma

Sperma akan diperiksa pertama kali sebelum pemeriksaan pada perempuan.

Red: Qommarria Rostanti
Ilustrasi Sel Sperma
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Sel Sperma

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemeriksaan sperma merupakan tindakan pertama yang perlu dilakukan sebelum pengecekan pada perempuan untuk kasus gangguan kesuburan. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus spesialis kebidanan dan kandungan konsultan fertilitas, endokrinologi dan reproduksi, Prof Dr dr Budi Wiweko, MPH, Sp.OG-KFER mengatakan, sekitar 35 persen sebab gangguan kesuburan oleh faktor sperma. 

"Oleh karena itu, yang pertama kali diperiksa sperma sebelum dilakukan pemeriksaan pada perempuan," kata dia dalam webinar kesehatan mengenai kesuburan, Kamis (23/9).

Menurut Budi, jumlah sperma normalnya sekitar 15 juta per cc, dengan jumlah yang bergerak sebanyak 32 persen. Bila hasil menunjukkan tidak normal maka disarankan pemeriksaan ulang tiga bulan kemudian.

Pada kasus sperma nol, dokter akan memeriksa ketersediaan sperma ada di testis, kemudian sebab kelainan apakah karena faktor produksi atau distribusi. "Karena itu penting dilakukan pemeriksaan volume testis, hormon untuk memikirkan apakah ada sperma di testis. Kalau ada bisa dilakukan biopsi testis untuk mendapatkan sperma pada bayi tabung," ujar Budi.

Sementara pada perempuan, biasanya akan dilakukan pengecekan kadar Anti-Mullerian Hormone (AMH), yakni untuk mengukur kadar hormon yang dihasilkan oleh organ reproduksi di dalam darah. Dalam program bayi tabung, tes ini bisa digunakan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas cadangan sel telur yang dimiliki calon ibu.

"Kalau perempuan usianya 29 tahun, AMH-nya harusnya 3,5 nanogramper mililiter (ng/ml), umur biologisnya 29 tahun. Kalau usianya 35 tahun, minimal 1,4 AMH-nya," ujar Budi.

Bila dua orang perempuan yang sama-sama berusia 25 tahun namun AMH berbeda yakni 5,4 ng/mL dan 0,5 ng/mL, maka pasien kedua memiliki umur biologisnya yang jauh lebih tua daripada yang pertama. "Ini yang menyebabkan tindakan pada pasien kedua akan jauh berbeda daripada pasien pertama," kata Budi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement