Jumat 24 Sep 2021 03:03 WIB

Internasional Didesak Bertindak Cegah Konflik Myanmar

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
 Para pengunjuk rasa memberi hormat tiga jari saat mereka membawa bendera serikat mahasiswa selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 21 Mei 2021.
Foto: EPA/STRINGER
Para pengunjuk rasa memberi hormat tiga jari saat mereka membawa bendera serikat mahasiswa selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 21 Mei 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michele Bachelet pada Kamis (23/9) mendesak masyarakat internasional mengerahkan upaya maksimal untuk mencegah konflik di Myanmar semakin memburuk. Bachelet memperingatkan munculnya bencana hak asasi manusia di bawah kekuasaan militer di Myanmar.

"Konsekuensi nasionalnya dapat mengerikan dan tragis, konsekuensi regional juga bisa sangat besar. Komunitas internasional harus menggandakan upayanya untuk memulihkan demokrasi dan mencegah konflik yang lebih luas sebelum terlambat,” kata Bachelet dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga

Negara-negara Barat telah mengutuk junta militer Myanmar dan memberlakukan sanksi terhadap petinggi militer. Namun para kritikus mengatakan Barat harus mengambil sikap yang lebih keras, termasuk embargo senjata. Bachelet mengatakan Myanmar telah gagal memenuhi kesepakatannya dengan ASEAN untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog.

“Ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak terhadap langkah-langkah akuntabilitas yang kuat," kata Bachelet.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari. Kudeta tersebut menandai berakhirnya satu dekade demokrasi tentatif dan memicu kemarahan di dalam serta luar negeri atas kembalinya kekuasaan militer.

Hampir setiap hari aksi protes anti-junta militer mewarnai Myanmar. Pasukan keamanan menggunakan tindakan keras untuk membubarkan aksi protes. Menurut PBB, lebih dari 1.120 orang telah tewas sejak kudeta.

Baca juga : Taliban Kembali Terapkan Hukuman Mati dan Potong Tangan

Pasukan perlawanan bersenjata telah terbentuk di berbagai daerah dan kerap bentrok dengan militer. Hal ini mendorong ribuan orang melarikan diri ke negara tetangga, termasuk India dalam beberapa hari terakhir.

Bachelet mengatakan pasukan telah menggunakan senjata terhadap warga sipil yang dimaksudkan untuk konflik militer. Mereka melakukan serangan udara dan serangan artileri tanpa pandang bulu.

Media lokal di Myanmar melaporkan kekerasan mematikan di setidaknya lima wilayah dan negara bagian yang berbeda pada Kamis. Serangan tersebut termasuk penggunaan bom rakitan oleh milisi yang bersekutu dengan pemerintah bayangan yang melawan junta.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement