REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG – Korea Utara (Korut) menolak tawaran Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in untuk secara resmi mendeklarasikan akhir perang di Semenanjung Korea. Pyongyang menilai hal itu tak ada artinya jika Amerika Serikat (AS) selaku sekutu Seoul tetap mengambil kebijakan bermusuhan di kawasan tersebut.
Wakil Menteri Luar Negeri Korut Ri Thae-song mengatakan deklarasi akhir perang tidak memiliki hukum mengikat. Menurut dia, itu pun bakal menjadi secarik kertas belaka dalam beberapa saat perubahan situasi.
"Tak ada jaminan bahwa pernyataan penghentian perang saja akan mengarah pada penarikan kebijakan permusuhan terhadap DPRK (Korut), di bawah situasi saat ini di semenanjung yang mendekati situasi sentuh-dan-pergi," katanya dalam sebuah pernyataan pada Jumat (24/9), dilaporkan Korean Central News Agency (KCNA).
Dia menekankan penarikan kebijakan permusuhan AS adalah "prioritas utama" dalam membawa perdamaian dan stabilitas ke Semenanjung Korea. "Harus dipahami dengan jelas bahwa deklarasi penghentian perang sama sekali tidak membantu menstabilkan situasi Semenanjung Korea saat ini, tetapi dapat disalahgunakan sebagai tabir asap yang menutupi kebijakan permusuhan AS," ucapnya.
Ri juga mempermasalahkan uji coba rudal balistik antarbenua Minuteman III oleh Washington pada Februari dan Agustus. Dia turut menyoroti keputusan AS baru-baru ini yang ingin membantu Australia membangun kapal selam bertenaga nuklir. Korut melihat hal tersebut sebagai provokasi dan ancaman terhadapnya.