Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Pandemi Pasti Pergi, Kepergiannya Menyisakan Luka

Lomba | Friday, 24 Sep 2021, 09:38 WIB
Sumber foto: Republika.co.id

Tidak diragukan lagi cepat atau lambat pandemi pasti pergi. Ibarat kata pepatah 'badai pasti berlalu', begitu pula wabah Covid-19. Sepanjang-panjangnya jalan pasti ada ujungnya. Namun, kepergian pandemi pun pasti menyisakan luka.

Lho kok luka? Bukankah semestinya kita bahagia karena pandemi telah usai. Betul, kepergian pandemi membuat bahagia karena kehidupan normal telah tiba. Tetapi saat kita mengenang orang-orang terdekat yang terenggut pandemi, dan mereka telah tiada kini, maka itulah yang membuat luka.

Semua orang berharap pandemi bisa segera enyah dari bumi Nusantara. Masyarakat ingin menikmati kebebasan tanpa perlu takut virus Wuhan. Beraktivitas secara leluasa hasilkan karya. Siswa kembali ke bangku sekolah dengan hati ceria.

Tsunami Covid-19 telah meluluhlantakkan semuanya. Kehidupan sosial berantakan, masyarakat dibatasi oleh segala macam aturan. Warga tidak diizinkan bersalaman, padahal disitulah keberkahan dalam bersilaturrahmi datang.

Warga dilarang berkerumunan. Padahal sudah biasa ngumpul-ngumpulan. Yang lebih menyakitkan lagi harus jaga jarak dalam saf salat. Bahkan suami istri pun hampir tidur terpisah gegara protokol kesehatan buatan pemerintah.

Tetangga dan jiran pun semakin terasa berjauhan, tidak ada lagi canda tawa dipagi hari seperti sebelum pandemi datang. Alasan takut tertular selalu lebih kuat daripada Ikatan saudara seiman sekalipun. Tsunami pandemi benar-benar memporak-porandakan nilai.

Fakta lain juga menunjukkan, hubungan anak dan orang tua menjadi renggang, sembah sujud dikaki bunda dan eyang seakan terlarang karena tidak dibolehkan oleh protokol kesehatan. Sedih bukan kepalang. Belum lagi lebaran tidak diizinkan pulang.

Sungguh setiap orang mengharapkan pandemi segera dituntaskan. Tetapi seakan tidak ada yang peduli dengan masyarakat awam yang tidak paham Ilmu kesehatan. Rakyat seperti dibiarkan dalam kebodohan dan dibawah ancaman.

Mereka selalu disuguhkan dengan angka statistik yang tidak bisa mereka terangkan. Jumlah kematian dan isoman. Data itu terus diproduksi sebagai menu makanan. Tiap detik dalam 24 jam tidak pernah sepi dari pemberitaan.

Indonesia digambarkan telah terkepung oleh badai pendemi yang menyapu kehidupan. Seakan-akan disini tidak ada lagi harapan. Pembatasan, pelarangan, penghukuman, dan kekejaman di lapangan dipertontonkan oleh mereka yang memiliki seragam dan kekuasaan.

Adapun jeritan kaum pinggiran tidak sampai ditelinga para bangsawan. Mereka lagi asyik masyuk dengan segala macam permainan. Bersilat lidah, mengubah kebijakan, dan berjuta alasan dijadikan topeng kepalsuan. Sementara dibalik itu pundi-pundi keuntungan mereka raup tanpa memiliki perasaan menistakan.

Begitu pula tangisan janda yang kehilangan suaminya karena tercabut nyawanya oleh pembatasan dibiarkan begitu saja. Tidak ada bantuan yang masuk lewat jendela-jendela gubuk mereka yang hampir roboh. Mereka pasrah pada kehidupan, hanya Tuhan sebagai sandaran.

Pun anak-anak yang kehilangan keceriaan. Tidak ada lagi senyum merekah disudut bibir mereka yang basah. Raut wajah mereka bagai langit tanpa bintang. Tidak nampak lagi sinar cahaya dimatanya. Sedangkan mereka tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, "(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang." (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 83).

Dalam ayat selanjutnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Maka Kami kabulkan (doa)nya lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami." (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 84).

Semoga ujian pandemi ini segera berakhir. Kita berdoa kepada Allah SWT agar dikuatkan pemerintah Indonesia, pemimpin kita untuk berani mengambil sikap optimis keluar dari wabah ini. Tak memiliki keyakinan kepada Nya akan membuat negeri ini dihancurkan oleh Covid.

Silakan direnungi: mengapa pandemi begitu kejam? Bukankah ia juga hamba Tuhan? Ataukah pemilik istana kebohongan itu yang suka mempermainkan?

Semoga ada manfaatnya! (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image