REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, meminta agar data terkait kasus Covid-19 di lingkungan sekolah betul-betul diverifikasi. Itu perlu dilakukan untuk memastikan hak dasar anak terpenuhi berupa hak hidup dan derajat kesehatan yang optimal.
"Prinsipnya, data terkait harus diverifikasi, segera dipastikan data," ujar Rita kepada Republika lewat pesan singkat, Jumat (24/9).
Rita menyatakan, keinginan untuk membawa kembali anak-anak peserta didik ke sekolah harus dibarengi dengan pemberian keyakinan atas keamanan mereka. Sebab, hak hidup dan derajat kesehatan yang optimal merupakah salah satu hak dasar yang dimiliki oleh anak.
"Kita semua ingin anak sekolah, tapi juga harus ada keyakinan bahwa ada keamanan anak karena hak hidup, derajat kesehatan yang optimal, adalah hak dasar anak," kata dia.
Selain itu, dia juga mengatakan, pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas harus tetap mengacu kepada Lima SIAP. Rita menerangkan, Lima SIAP terdiri dari kesiapan pemerintah daerah, sekolah, guru, murid, serta orang tua murid dalam menyelenggarakan PTM terbatas.
"Kualitas pendidikan tetap harus dijaga baik daring maupun luring karena sepertinya tetap akan berlangsung dalam jangka waktu yang belum kita ketahui," jelas Rita.
Kemendikbudristek telah mengklarifikasi data klaster Covid-19 di sekolah yang beredar di masyarakat. Dikatakan, data-data tersebut bukan merupakan data klaster Covid-19 yang terjadi akibat pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah, melainkan data warga sekolah yang sedang atau pernah terkena Covid-19 secara umum.
"Jadi itu 2,8 persen adalah bukan data klaster pendidikan. Tetapi itu adalah data yang menunjukkan satuan pendidikan yang melaporkan lewat aplikasi kita, lewat laman kita, bahwa di sekolahnya ada warga yang tertular Covid 19," ujar Jumeri.
Dia menjelaskan, data itu didapatkan dari pendataan Kemendikbudristek mengenai ada atau tidaknya warga sekolah yang terkena Covid-19. Dari sekitar 46.500 sekolah yang menjadi responden, 2,8 persennya menjawab warga sekolahnya ada yang pernah terkena Covid-19, baik itu siswa, guru, maupun tenaga kependidikannya dan belum tentu penularan terjadi di sekolah.
"Ada lebih dari 97 persen sekolah itu tidak tercemar. Tidak ada warga yang pernah tertular Covid-19. Ini hal pertama yang perlu kita pahami bersama. Jadi sekali lagi, 2,8 persen adalah sekolah-sekolah yang melaporkan warganya ada yang (pernah atau sedang) tertular Covid-19," kata Jumeri.
Selain itu, dia juga menyatakan, data warga sekolah yang terjangkit Covid-19 tersebut bukan berasal dari sekolah yang menggelar PTM terbatas saja. Menurut Jumeri, sekolah-sekolah yang tidak melakukan PTM terbatas pun mengisi pendataan yang dilakukan oleh Kemendikbudristek.
"Satuan pendidikan tersebut adalah yang sudah PTM maupun yang belum PTM. Jadi ini kita punya banyak sekolah, yang melapor itu 46.500, baik dia melapor bahwa sudah PTM maupun melapor belum PTM," ungkap Jumeri.
Kemudian, Jumeri menekankan, data tersebut merupakan data akumulasi yang dikumpulkan sejak Juli 2020 hingga September 2021 ini. Karena itu dia menegaskan data tersebut bukan data baru yang dikumpulkan sejak pemberlakuan PTM terbatas pada PPKM Darurat Level I-III beberapa bulan lalu.
"Itu adalah akumulasi sejak bulan Juli 2020 atau tahun ajaran 2020/2021 sampai tahun ajaran 2021/2022 bulan September ini. Jadi itu kira-kira masa 14 bulan dari perjalanan pembelajaran di Indonesia ini baik yang PTM maupun yang belum PTM," terang dia.
Data jumlah pendidik, tenaga pendidik, dan siswa yang pernah terkena Covid-19 itu juga ia sebut tidak sepenuhnya benar. Sebab, data tersebut belum diverifikasi lebih lanjut dan masih ditemukan banyak kesalahan dalam pengisian data yang dilakukan oleh satuan-satuan pendidikan yang menjadi responden.
"Seperti laporan jumlah guru yang positif itu melebihi jumlah guru yang ada di sekolah itu. Itu kan tidak mungkin. Jadi gurunya hanya delapan, melaporkan ada penularan 16-15. Itu masih terjadi di data itu," jelas Jumeri.