REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina meningkatkan batas jumlah anak dalam satu keluarga menjadi tiga anak. Kebijakan ini diberlakukan karena Cina menghadapi krisis demografi.
Namun, dikutip Saudi Gazette pada Sabtu (25/9), masih banyak pasangan yang masih ragu untuk memperbanyak anggota keluarga mereka. Bahkan, untuk mendorong kebijakan ini, beberapa daerah menawarkan insentif tunai untuk mendorong lebih banyak kelahiran anak.
Salah satunya, Desa Huangzhugen, di Kota Lianjiang di Provinsi Guangdong Selatan. Desa ini akan membayar sebesar Rp 510 dolar Amerika Serikat per bulan kepada bayi yang lahir setelah 1 September.
Keluarga akan menerima subsidi bulanan sampai bayi mereka berusia 2,5 tahun. Jika diakumulasikan, setiap anak akan mendapatkan uang lebih dari 15 ribu dolar AS atau Rp 214 juta.
Sementara, pendapatan tahunan rata-rata di Lianjiang adalah 3.295 dolar AS per orang pada 2019. Subsidi ini dilaporkan merupakan sumbangan seorang pria kaya di desa itu.
Kebijakan tiga anak adalah langkah terbaru dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan tingkat kesuburan negara di tengah populasi warga yang menua dengan cepat dan angkatan kerja yang menyusut. Pemerintah mengumumkan perubahan kebijakan hanya beberapa minggu setelah sensus 2020 diterbitkan.
Hasil sensus itu menunjukkan populasi Cina tumbuh pada tingkat paling lambat dalam beberapa dekade. Pemerintah pun mendorong kebijakan tiga anak ini dengan memberikan insentif keuangan.
Kabupaten Linze, di Provinsi Gansu Barat Laut menawarkan subsidi real estat senilai 6.200 dolar AS untuk pasangan yang memiliki dua atau tiga anak. Pemerintah daerah juga berencana menawarkan subsidi tunai hingga 1.500 dolar AS per bayi per tahun untuk keluarga dengan dua atau tiga anak.
Panzhihua, sebuah kota di Provinsi Sichuan, juga memberikan bantuan tunai kepada keluarga dengan dua atau tiga anak, mencapai 80 dolar AS per bulan per bayi. Tak hanya di Cina, langkah-langkah serupa sebelumnya telah diterapkan di negara-negara Asia lainnya yang mengalami krisis demografis.
Misalnya, Kota Nagi di Jepang menjadi kisah sukses setelah membayar pasangan yang tinggal di sana untuk memiliki lebih banyak anak. Pembayaran satu kali meningkat dari anak pertama ke anak kedua, dan seterusnya.
Kemudian ada Singapura, yang juga memiliki tingkat kelahiran terendah di dunia. Pemerintah menawarkan pembayaran satu kali kepada calon orang tua tahun lalu selama pandemi Covid-19.
Namun di Cina, desakan resmi untuk lebih banyak bayi telah mendapat kritik dari banyak wanita dan orang muda. Kritikan tersebut muncul karena sebelumnya pemerintah mencegah mereka memiliki lebih banyak anak.
Persoalan lain mengenai ketidaksetaraan gender yang mengakar, kurangnya cuti untuk ayah, meningkatnya biaya hidup, dan berkurangnya kesempatan kerja. Untuk memiliki lebih banyak anak, perempuan sering kali harus melakukan pengorbanan karir dan menghadapi diskriminasi di tempat kerja karena mereka dituntut bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga.
Dengan makin banyaknya wanita yang mendapatkan pendidikan perguruan tinggi memasuki dunia kerja daripada sebelumnya, makin sedikit yang siap untuk melakukan pengorbanan itu. Masalahnya lebih menonjol di pusat perkotaan, di mana biaya hidup lebih tinggi lebih banyak persaingan untuk pekerjaan, dan banyak yang mengeluhkan upah yang stagnan.
Kendala pun tetap ada bahkan di daerah pedesaan yang lebih padat penduduknya. Di Linze, sebuah survei lokal menemukan tiga faktor utama yang membuat keluarga enggan memiliki lebih dari satu anak, antara lain tekanan pada perumahan, pendidikan dan pengasuhan anak.