REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mendesak Amerika Serikat (AS) untuk lebih aktif dalam proses menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 dengan Iran. Saat ini pembicaraan terkait hal itu tengah terhenti.
“Tampaknya jelas mereka (AS) harus lebih aktif (dalam) menyelesaikan semua masalah yang terkait (dengan kesepakatan nuklir 2015),” kata Lavrov saat diwawancara media di sela-sela sidang Majelis Umum PBB pada Sabtu (25/9), dikutip Al Arabiya.
Para pejabat AS telah memperingatkan tentang “Rencana B” jika Iran melanjutkan aktivitas nuklirnya. Mereka menekankan, waktu bagi Teheran untuk mengambil langkah positif guna melanjutkan pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 kian menipis.
Saat ini, Iran dan AS masih terlibat dalam pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Namun pembicaraan yang sudah berlangsung beberapa putaran di Wina, Austria, itu tengah terhenti. Hal itu karena Iran memiliki presiden baru, yakni Ebrahim Raisi.
JCPOA disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta China. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.
Namun, JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran.