REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menyampaikan, surat terbuka dari Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI Junior Tumilaar kepada Kepala Polri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, seperti gaya anak muda mengirimkan pesan melalui grafiti. Grafiti merupakan suatu budaya populer yang semakin berkembang dan menjadi suatu budaya yang digemari kaum muda di perkotaan.
"Sebagai perwira tinggi, Junior Tumilaar tidak mungkin membuat coretan di tembok sebagai bentuk protes. Graffiti yang dilakukannya dalam bentuk surat terbuka, sehingga publik mengetahui pesan protes yang disampaikannya viral," kata Ginting di Jakarta, Senin (27/9).
Kandidat doktor ilmu politik dari Unas itu menjelaskan, dalam sejarahnya grafiti digunakan sebagai bentuk protes, propaganda, maupun sebagai media eksistensi. Bahkan, kini sebagai budaya populer yang berkembang bersamaan dengan musik, gaya hidup dan seni rupa. Perilaku pembuat grafiti, kata Ginting, tidak selalu negatif, tergantung motif dan pesan yang dilakukannya.
"Para pejuang kemerdekaan Indonesia dahulu juga sudah membuat grafiti, seperti mencoret-coret di tembok serta gerbong kereta api agar Belanda pergi meninggalkan Indonesia. Juga pesan mengobarkan semangat kemerdekaan," ujar dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.
Jadi, lanjut Ginting, grafiti adalah media komunikasi yang ditulis dengan lambang dan simbol komunikasi tertentu. Memiliki pesan terhadap khalayak, dan kemudian menunjukan eksistensi identitas pembuat graffiti tersebut. Identitas graffiti dengan surat terbuka, itulah model yang dilakukan Brigjen Junior Tumilaar, Inspektur Kodam XIII/Merdeka di Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut).
"Menunjukkan eksistensi Junior Tumilaar sebagai tentara yang berani memprotes tindakan oknum kepolisian yang tidak pas. Tindakan yang dilakukan oknum Brimob dan satuan reserse yang hendak memeriksa aparat Babinsa (Bintara Pembina Desa)," kata Ginting
Simpati
Sontak, lanjut dia, tindakan berani yang dilakukan abiturien (lulusan) Akademi Militer (Akmil) 1988-A tersebut, mendapatkan simpati dari masyarakat. Reaksi positif dari Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto serta Panglima Kodam (Pangdam)XIII/Merdeka Mayjen TNI Wanti WF Mamahit yang menanyakan masalah tersebut kepada Junior sebagai orang nomor tiga di Kodam Merdeka.
Tindakan Panglima TNI dan Pangdam Merdeka sebagai atasan Junior Tumilar juga mendapatkan reaksi positif dari publik. Kedua pejabat tersebut memberikan semangat kepada Junior Tumilaar agar menjelaskan secara rinci kepada Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Puspomad) di Jakarta.
Buntutnya, Bidang Propam (Profesi dan Pengamanan) Polda Sulut memeriksa penyidik Polresta Manado yang membuat surat pemanggilan kepada Babinsa Kodam Merdeka, tanpa melakukan koordinasi di antara Polda dan Kodam.
Menurut Ginting, Junior Tumilaar dari Korps Zeni itu juga sudah menjelaskan melalui telepon kepada Panglima TNI bahwa ada Babinsa yang dipanggil oleh kepolisian, namun tidak disertai tanda pangkatnya. Tidak mememinta izin kepada atasannya di Kodam. Sebagai Inspektur Kodam, ia merasa ada yang keliru dan tidak bisa didiamkan, karena menyangkut organisasi militer dan kepolisian.
"Padahal pemanggilan itu sebuah kekeliruan, dengan bahasa lugasnya tindakan di luar kewenangan. Pangdam mengetahui tindakan yang dilakukan Brigjen Junior Tumilaar. Jadi, Kodam tidak menyalahkan tindakan Junior yang berani tersebut. Justru mendukungnya," ucap Ginting.
Konflik Tersembunyi
Dikemukakan, penyampaian surat terbuka yang dilakukan Brigjen Junior Tumilaar kepada Kepala Polri memang tidak lazim. Namun, hal itu dia lakukan, karena ada sumbatan komunikasi antara Kodam/XIII Merdeka dengan Polda Sulut. Sebab, sebelumnya Junior Tumilaar sudah menyampaikannya dalam forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda).
"Jadi, grafiti model Junior Tumilaar menunjukkan ada konflik tersembunyi di antara organisasi TNI dan Polri. Ia berani mengambil risiko agar masalah ini bisa segera diselesaikan," kata Ginting menegaskan.
Konflik dapat terjadi, lanjut Ginting, karena setiap individu atau unsur yang terdapat di dalam organisasi secara langsung maupun tidak langsung memegang teguh pedoman dan prinsip di dalam organisasi tersebut. Ginting menyebut, Brigjen Junior merasa memegang prinsip sebagai seorang tentara profesional. Ia merasa menjalankan visi dan misi yang digariskan organisasinya.
Pengamat yang malang melintang menjadi wartawan masalah pertahanan dan keamanan itu menjelaskan, konflik di dalam organisasi, dapat ditentukan oleh persepsi individu maupun kelompok. Jika mereka tidak menyadari telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada.
Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi suatu kenyataan. Ginting menyebut, konflik merupakan suatu keniscayaan. Kondisi perilaku yang tidak tersembunyi bahkan tidak bisa disembunyikan. Sebab, satu pihak ingin memenangkan kepentingannya di atas kepentingan pihak lain. Sehingga rivalitas di antara dua organisasi itu tidak bisa dihindari.
Dia menganggap, di dalam organisasi mana pun, kerap terjadi konflik. Baik internal maupun eksternal. Konflik yang terjadi kerap, karena permasalahan sepele. Namun hal yang remeh temeh itu justru dapat memicu konflik yang lebih besar. "Jadi, diperlukan manajemen konflik yang harus dilakukan di dalam organisasi, baik militer maupun kepolisian," kata mantan wartawan senior Republika itu.
Kebijakan dan metode komunikasi yang diambil pimpinan kedua organisasi bersenjata itu, lanjut Ginting, akan sangat memengaruhi para prajurit di bawahnya. Dia berharap, sinergitas TNI dan Polsi bukan hanya sebatas di atas kertas saja. Sebab dalam aplikasinya, sinergitas itu hanya terjadi di tingkat elite kedua organisasi tersebut.
"Dibutuhkan orang yang berani seperti Junior Tumilaar. Termasuk berani mengingatkan perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran hukum dalam kasus-kasus tanah dan sebagainya. TNI adalah tentara rakyat, dia harus manunggal dengan rakyat. Bukan membiarkan rakyat tak berdaya melawan kesewenang-wenangan," pungkas Ginting.