REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo yang merelakan popularitasnya tergerus demi menyelamatkan nyawa masyarakat.
Ini terkait keputusan Jokowi yang memperpanjang penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) demi menekan penyebaran virus Covid-19.
Keputusan PPKM memang tidak populer, memicu penurunan popularitas sekaligus persepsi publik pada kepuasan ke Presiden. Meski begitu, Jokowi tetap konsisten meski secara politis merugikan. Kondisi ini menandai Jokowi lebih mementingkan kesehatan publik dibanding citra politiknya,” kata Dedi menanggapi temuan survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis Ahad (26/9).
Menurut Dedi, hal tersebut menjadi sikap yang harus ditunjukkan pemimpin nasional, rela mengorbankan dirinya untuk keselamatan rakyat. Di sisi lain, ia tetap bekerja menjaga pertumbuhan ekonomi.
“Dalam konteks itu, Jokowi pantas disebut negarawan, karena mendahulukan kepentingan warga negara dibanding citra politik dirinya sendiri,” ungkap Dedi.
Dedi menilai sikap tersebut karena karakter Jokowi yang bukan politisi “jangka pendek”. Jokowi, ia melanjutkan, “merupakan negarawan yang memegang prinsip utama, yakni mementingkan rakyat dan keselamatan rakyat. Kalau dia politisi jangka pendek, tidak akan melakukan PPKM karena tidak popular,” ujarnya.
Menurut Dedi, sikap kenegarawanan tersebut harus diikuti jajaran di bawahnya, yakni para menteri dan pembantu-pembantunya di kabinet. “Pak Jokowi sudah menunjukkan sikap, maka pembantu-pembantunya harus juga bersikap sama,” imbaunya.
Kebijakan terus memberlakukan PPKM memang penuh risiko. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahaladia bahkan menyebutnya sebagai strategi gas dan rem.
Di satu sisi, diterapkan injak gas untuk memicu pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, siap menginjak rem untuk mengatasi pandemi. “Terbukti, negara kita sudah keluar dari zona merah,” tambahnya.
Menurut Bahlil, kebijakan yang diambil Presiden Jokowi dalam posisi yang sulit. Tak ada rumus baku demi atasi pandemi ini di dunia. Kata Bahlil, memerlukan tiba saat tiba akal. Artinya, strategi bisa berubah.
“Minggu ini strategi A, dua minggu ke depan belum tentu strategi itu lagi, bisa strategi B. Karena itu wajar kalau di bawah mata para menteri hitamnya banyak, kurang tidur,” kata Bahlil.