REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan meminta Amerika Serikat (AS) menarik pasukannya dari Suriah dan Irak, serupa dengan cara AS menarik diri dari Afghanistan. Erdogan mengatakan bahwa, langkah seperti itu akan mempromosikan perdamaian di wilayah tersebut.
"Tentu saja, jika saya punya pilihan, saya ingin mereka keluar dari Suriah dan Irak. Sama seperti cara mereka menarik diri dari Afghanistan. Karena jika kita akan menciptakan perdamaian di seluruh dunia, maka kita bisa meninggalkan orang-orang itu, membiarkan pemerintah mengambil keputusan sendiri," ujar Erdogan, dilansir Sputnik News, Senin (27/9).
Dalam wawancara dengan CBS, Erdogan ditanya apakah pernah mengangkat masalah kemungkinan penarikan pasukan AS dari Suriah dan Irak dengan Presiden AS Joe Biden. Erdogan mengatakan, dia tidak pernah bertanya membahas hal tersebut dengan Biden ketika bertemu di Brussels. Erdogan menambahkan, ketika itu dia dan Biden fokus membicarakan masalah Afghanistan.
AS dan negara-negara NATO lainnya menarik diri dari Afghanistan pada akhir Agustus lalu. Penarikan itu menyusul pengumuman Presiden Biden tentang rencana untuk mengakhiri perang selama hampir 20 tahun di Afghanistan.
Para pengamat menggambarkan, penarikan pasukan berlangsung kacau karena negara Barat tergesa-gesa dalam mengevakuasi warga negara mereka, serta warga sipil Afghanistan yang pernah membantu mereka. Ketika itu, situasi bandara Kabul sangat kacau. Hampir semua warga Afghanistan berebut untuk keluar dari negara mereka, karena takut dengan pemerintahan Taliban.
Saat ini diperkirakan ada 2.500 tentara AS di Irak yang membantu pasukan lokal untuk melawan ISIS. Presiden Biden mengatakan, misi Amerika di Irak akan berakhir pada akhir tahun ini. Menurut Biden, setelah 31 Desember 2021, AS akan beralih untuk melatih dan membantu pasukan Irak untuk mengatasi gerakan teroris.
AS telah mempertahankan kehadiran pasukan di Irak sejak Maret 2003. Pada saat itu, AS mengerahkan puluhan ribu pasukan sebagai bagian dari upaya yang lebih besar untuk menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein, dan melucuti Baghdad dari senjata pemusnah massal, yang keberadaannya tidak pernah dikonfirmasi.
Pada 2017, Irak dan AS mengumumkan bahwa ISIS telah dikalahkan. Tetapi pasukan tempur Amerika tetap berada di Irak. AS membenarkan bahwa kehadiran mereka bertujuan untuk mengatasi ancaman yang muncul dari sisa-sisa kelompok teroris.
Setelah pembunuhan terhadap jenderal tertinggi Iran, Qasem Soleimani pada Januari 2020, parlemen Irak mengadopsi resolusi yang menuntut agar semua pasukan Amerika diusir dari Baghdad. Sejak saat itu, Pentagon mulai mengurangi jumlah pasukan dari 5.300 menjadi 2.500.
Sementara, AS tidak pernah menerima mandat Dewan Keamanan PBB atau undangan dari Suriah untuk mengirim pasukannya ke negara tersebut. Pemerintah Suriah menyebut, pasukan Amerika terlibat dalam ekstraksi dan ekspor sumber daya alam ilegal.